Minggu, 10 Mei 2009

DARA RUAI BORNEO Part 1

Oleh: Heronimus Ato Bedayong

Pagi belum beranjak siang ketika dari balik sebuah hutan kecil itu tiba-tiba terdengar tangis seorang gadis yang memilukan. Suara isak tangis dan air mata menderu jadi satu menyayat hati, menyudahi sebuah petualangan di Jagad raya. Tak lama berselang, orang-orang berdatangan menyambut duka sebuah keluarga. Ah…. Duata’k aku pulang deru angin berbisik mewakili jasad nenek yang berbaring tenang disamping cucunya.

Tak ada lagi belaian mesra, tak ada lagi nyanyian, tak ada lagi tawa, tak ada lagi, takkan ada lagi ucap Dara Ruai pilu duduk disamping nenek yang terbujur kaku. Padahal hari masih pagi, sinar matahari bahkan belum tampak, masih tertutup kerimbunan dedaunan pohon besar hutan Kalimantan, mengapa nenek belum sempat lihat matahari untuk yang terakhir kali ucapnya dalam tangis.
Embun yang menggumpal membentuk butiran-butiran air masih terlihat menggelayut diujung dedaunan pohon seolah-olah menangisi kepergian nenek yang arif dan adil di Bumi ini. Siang makin meninggi persiapan pemakaman sudah selesai hingga pemberangkatan jenasah. Tiba di pemakaman nenek dikubur disamping sebuah kubur seorang laki-laki yang bukan lain adalah suami dari nenek itu.
Dara Ruai makin sedih dan lunglai saat peti mulai dimasukan hingga upacara pemakaman selesai. Ia seakan-akan tak percaya apa yang telah terjadi pada dirinya, kini ia tinggal sebatang kara, ayahnya meninggal sembilan tahun lalu dalam sebuah perang antar suku, ibunya meninggal saat melahirkannya, hingga akhirnya nenek yang merawat dan membesarkannya, tapi kini nenek sudah tiada maka aku sebatang kara ucapnya dalam hati.
Sore hampir tiba Dara Ruai pulang ke rumah. Diperjalanan ia terkenang masa-masa bersama nenek dan ia ingat akan pesan nenek semasa hidupnya. Di depan ia berjalan ada sebatang pohon yang teduh ia berhenti dan duduk di bawah pohon tersebut sambil mengingat pesan nenek.


Bersambung………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar