Rabu, 16 Mei 2012

Jejak Peninggalan Hindu-Buddha di Kalimantan Barat?

Oleh: Wilhelmus R. (mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Sanata Dharma)  


Selama ini pengaruh Hindu-Buddha di Nusantara (Indonesia.red) yang kita ketahui hanya bernuansakan pada budaya masyarakat 'Jawa' dalam konteks kekinian, misalkan terselipnya lakon pewayangan dalam tradisi abangan (Kejawen.red). Sementara di luar Jawa, nuansa tadi telah tergerus seiring jaman, Sumatera misalnya; di mana Kerajaan Sriwijaya pernah mencapai puncak keemasannya di masa pemerintahan Balaputeradewa (circa, 856-). Di wilayah yang sekarang kita sebut 'Palembang' nuansa Buddha yang tersisa hanyalah berupa bukti fisik seperti beberapa prasasti,dan candi Muara Takus peninggalan kerajaan Sriwijaya. Nuansa abstrak? sepertinya masih terpelihara oleh sebagian kelompok masyarakat, hanya saja dalam bentuk pencitraan yang lain terlebih dengan masuk budaya 'Islam' di awal abad ke-19. Menilik pada hal tersebut di atas, wilayah lainnya selain Sumatera (Swarnnabhūmi) dan Jawa (Jawadipa) mengalami hal yang sama tidak terkecuali Kalimantan. Pengaruh Hindu mulai redup sejak masuknya budaya Islam di daerah pesisir, bahkan kerajaan Hindu tertua di nusantara Kutai (berdiri sekitar abad ke-4) beralih menjadi Islam setelah ditaklukkan oleh Kutai Kertanegara (berdiri sekitar tahun 1300an) yang kemudian menjadi kerajaan Islam di masa pemerintahan Aji Muhammad Idris (1735-1778). Demikian juga dengan kerajaan lainnya seperti kerajaan Matan, Sukadana dan Landak di Kalimantan Barat.

Bagaimana dengan Kalimantan Barat?. Dalam konteks ini, budaya Hindu memang telah berkembang di Kalimantan jauh sebelum berdirinya kerajaan Mataram Hindu (752-1045), atau sejaman dengan kerajaan Tarumanegara (358–669) di Jawa Barat. Kerajaan Kutai Hindu tidak bertahan lama, besar 'kemungkinan' penerus terakhir dari masa ini sepeninggal raja Dharma Setyawarman menyingkir ke pedalaman Kalimantan. Dari berbagai literatur, beberapa kerajaan di Kalimantan Barat termasuk dalam wilayah kekuasaan Singhasari (1222-1292) dan Majapahit (1293-1500), tetapi kerajaan-kerajaan taklukkan ini berada di pesisir termasuk Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur. Sedangkan di pedalaman Kalimantan beberapa kerajaan (sebelum ekspedisi Pamalayu utusan raja Singasari) yang bercirikan Hindu berdiri sendiri, tidak terjangkau oleh kekuatan dari luar, termasuk di antaranya Kerajaan Sanggau (J.U Lontaan, 1975:170) dan Kerajaan Sintang yang keduanya didirikan sekitar akhir abad ke-4, yang sekarang menjadi bagian dari propinsi Kalimantan Barat (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:15). 

Dari kerajaan Sanggau dan Sintang inilah berbagai spekulasi bermunculan berkenaan dengan keberadaan Batu Bertulis yang ditemukan di Dusun Pait, sekitar 30 km dari Nanga Mahap, kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Keberadaan situs sejarah ini sering dibahas di berbagai media, sehingga menarik minat dari Pemerintah Pusat (Puslitar dari Jakarta tahun 1982) termasuk ilmuan-ilmuan asing untuk meneliti langsung peninggalan sejarah tersebut. Dari penelitian-penelitian tadi ditarik kesimpulan; situs tersebut diperkirakan telah ada sejak tahun 650 pada abad ke-7 M, dan bertuliskan huruf Pallawa berbahasa Sankskerta. Dari fakta lunak di atas, tampaknya teori tentang Batu Bertulis merupakan peninggalan kedua kerajaan tadi menjadi masuk akal. Akan tetapi belakangan berbagai perdebatan mengenai ‘teori’ tersebut mulai dibicarakan tanpa titik temu yang jelas. Inilah yang disebut wilayah ‘rentan’ dalam sejarah. Beberapa perdebatan ini dapat diuraikan sebagai berikut.

1.      Batas wilayah kekuasan antara Kerajaan Sanggau (berpusat di Mengkiang) dan Kerajaan Sintang  (berpusat di Sepauk) tidak pernah terpetakan dengan jelas (J.U Lontaan, 1975:170). Sedangkan wilayah Sekadau dalam beberapa literatur lokal sebagian masuk dalam kekuasaan Kerajaan Tayan yang didirikan oleh Gusti Likar seorang raja keturunan Majapahit (Usman, 2002).
2.      Aksara yang terdapat di Batu Bertulis berhuruf Pallawa, berbahasa Sanskerta. Dalam literatur disebutkan beberapa kerajaan di pesisir Kalimantan menggunakan bahasa Melayu Kuno berhuruf Pallawa kecuali Kutai Hindu. Antithesis ini merunut pada pengaruh Sriwijaya (600-an s/d 1100-an) yang saat itu menguasai nusantara termasuk Kedah dan Johor  (sekarang bagian dari Malaysia).
3.      Disebutkan Patih Logender yang memimpin Ekspedisi Pamalayu berkunjung ke Sintang atas perintah raja Singhasari, Kertanegara dan menikah dengan Putri raja Sintang saat itu (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:19). Patih Logender  inilah yang disebut-sebut membangun Batu Bertulis yang ada sekarang, disebabkan kebiasaan yang dilakukan oleh raja-raja di Jawa sebagai batu peringatan layaknya Prasasti. Tetapi Logender hanyalah sebagai penasehat kerajaan, sedangkan yang berhak mengeluarkan bentuk ‘peringatan’ semacam itu, dalam hal ini adalah istrinya sendiri Dara Juanti saat itu menjadi Ratu Sintang (1291-??).
4.      Jika memang Batu Bertulis dibangun sekitar tahun 650, maka pengaruh Hindu berasal dari Kutai, bukan dari Singhasari atau Majapahit. Hal ini merujuk pada prasasti Yupa peninggalan Kutai berhuruf/bahasa yang sama seperti Batu Bertulis. Sedangkan di masa Singhasari dan Majapahit, prasasti tentang keduanya  sebagian berbahasa kawi. Sejarah dua kerajaan tadi juga tertulis di lembaran-lembaran lontar yang sekarang kita kenal dengan ‘Pararaton’ dan ‘Negarakertagama’ dan beberapa kitab lainnya termasuk Sutasoma. Prasasti yang ditemukan di Jawa sebagian merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Hindu.

Terlepas dari banyaknya teori tentang keberadaan Batu Bertulis yang sekarang menjadi aset berharga bagi kita semua. Teori-teori tadi hanyalah spekulasi berdasarkan gambaran umum yang terjadi saat itu. Mengingat, sifat sejarah itu sendiri yang dinamis, berbagai perkembangan di masa sekarang ini sekiranya perlu dikaji dan dibahas kembali agar tidak berlalu begitu. Demikianlah, salah satu cara serta upaya kita untuk menghargai sejarah dalam pelbagai aspek. Sekiranya catatan ini dapat menjadi referensi yang sedikit mungkin bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat kekurangan dalam tulisan ini, atau mungkin ada sesuatu yang baru, yang terlewatkan mohon untuk diperbaharui dan dikoreksi. Wassallam…..

Rabu, 04 Januari 2012

Kontribusi Positif PSBDK bagi Mahasiswa


Terselenggaranya Pesta Seni dan Budaya Dayak se-Kalimantan (PSBDK) berawal dari kerinduan mahasiswa Dayak di Yogyakarta akan tradisi dan budayanya yang jauh di kampung halaman. Dalam perjalanannya, kegiatan tersebut mendapat apresiasi yang sangat baik dari berbagai kalangan, baik pelajar dan mahasiswa (terutama kalangan mahasiswa Dayak) maupun para pemerhati budaya yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya untuk berpikir lebih jauh bagaimana cara mengembangkan “Gawai Dayak” ini sebagai promosi dan usaha melestarikan budaya Dayak baik pada tingkat Nasional maupun Internasional. Tidak hanya itu, PSBDK diharapkan mampu membangun semangat kekeluargaan dan kerjasama yang baik di kalangan mahasiswa Dayak sebagai wujud realitas kehidupan masyarakat Dayak di Betang Panjang.


PSBDK pertama kalinya diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 2002 oleh Forum Komunikasi Pelajar Mahasiswa Kristiani Sintang (FKPMKS). Secara berturut-turut hingga tahun 2011 PSBDK diselenggarakan oleh Himpunan Pelajar Mahasiswa Dayak Kapuas Hulu (HPMDKH) tahun 2003, Forum Komunikasi Pelajar Mahasiswa Kabupaten Sintang (FKPMKS) tahun 2004, Ikatan Keluarga Besar Kabupaten Sanggau Yogyakarta (IKBKSY) tahun 2005, Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Sekadau (IPMKS) tahun 2007, Forum Komunikasi Mahasiswa Kabupaten Melawi (FOKUS MAPAWI) tahun 2008, Ikatan Pelajar Mahasiswa Dayak Kutai Barat (IPMDKB) tahun 2009, Forum Mahasiswa Kabupaten Landak (FORMAKAL) tahun 2010 dan terakhir pada tahun 2011 oleh forum mahasiswa Ketapang Bujang Dare Kayong (Bedayong).

PSBDK X tahun 2012 akan digelar oleh Forum Pelajar dan Mahasiswa Kabupaten Bengkayang. Hingga lustrum kedua, PSBDK tanpa kita sadari telah banyak memberikan kontribusi positif bagi para mahasiswa Dayak di Yogyakarta dan sekitarnya. Kontribusi positif ini berupa pengalaman dan pembelajaran organisasi bagi para mahasiswa yang terlibat langsung dalam kepanitian maupun anggota forum peserta PSBDK. PSBDK dapat dikatakan media pembelajaran mahasiswa dalam berorganisasi diantaranya bagaimana cara bekerja dalam sebuah tim, belajar menjadi seorang konseptor, belajar menyusun anggaran, belajar memimpin dan mengurus orang banyak, belajar menjadi tuan rumah yang ramah dan tegas, belajar mencintai dan melestarikan budaya dan menghormati adat, belajar berkomunikasi/diplomasi dengan para pejabat serta pihak-pihak lain yang terlibat serta bagaimana membuat laporan pertanggung jawaban yang transparan dan akuntabel. Hasil belajar dalam PSBDK memberikan pengalaman yang sangat berarti bagi masing-masing individu mahasiswa yang mungkin tidak didapatkan dalam bangku kuliah dan kelak akan menjadi modal utama ketika berhadapan langsung dengan masyarakat dan dunia kerja.


Dalam pelaksanaan PSBDK oleh mahasiswa Dayak tentunya sedikit banyak terdapat berbagai kekurangan, kelemahan serta hambatan. Kritikan atau saran dari berbagai pihak hendaknya menjadi bahan evaluasi bersama agar kedepannya PSBDK menjadi lebih baik dan berkembang. Sangat disayangkan jika kegiatan bertajuk cinta dan peduli akan budaya Dayak tiba-tiba harus terhenti di tengah jalan. Kita berharap agar pemerintah daerah di Kalimantan tetap mendukung kegiatan PSBDK. Karena kegiatan tersebut merupakan wujud kepedulian para mahasiswa dan orang muda terhadap daerah serta upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) mahasiswa Dayak pada umumnya.

(Michael Yoga Anes, Ketua Lembaga Studi Dayak Yogyakarta, mahasiswa Dayak asal Singkawang, Kal-Bar)

Minggu, 20 November 2011

Mencoba Mendeskripsikan Mandau


Mencoba Mendeskripsikan Mandau

Oleh: Willhelmus Ruperno

Ternyata sulit bagi kita untuk mendeskripsi ‘Mandau’. Sama halnya seperti ‘Katana’ (pedang tradisional Jepang), mandau menjadi istilah umum untuk senjata tajam bangsa Dayak (Fridolin Ukur, 1972) dulunya. Bahkan Dr. A. Neuwenhuis seorang Botani Belanda sering menyebutkan kata ‘mandau’ dalam resumenya. Seiring waktu kemudian istilah mandau direduksi ke dalam berbagai pengklasifikasian dari masing-masing etnik (bangsa) Dayak. Sejak migrasi pertama kebudayaan Dongson masa Tersier -60 juta tahun yang lalu (H.TH. Fisher, 1991) dari jaman Neozoikum (Geologi), manusia mulai beranjak menuju kehidupan baru yakni berburu dan meramu (food & gathering). Walaupun ‘migrasi’ ini masih menjadi perdebatan, namun yang pasti ‘kebudayaan’ tidak berdiri dengan sendirinya, demikian juga item-item yang terkandung di dalamnya.

Diperkirakan ‘mandau’ dan senjata tradisional lainnya sudah dibuat sejak jaman logam dari masa ke-4 setelah Neolithikum (Charles Hose dan Willian McDougal, 1912). Oleh sebab itu banyak sumber mengatakan jika ‘mandau’ yang asli terbuat dari logam atau batu gunung (kemungkinan besi hitam). Sederhananya istilah mandau saat ini merujuk pada bentuk dan bahan yang digunakan, walaupun sekarang mandau dapat dibuat dari berbagai jenis logam seperti besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Dengan sendirinya kita dapat mengklasifikasikan ‘mandau’ menurut lingkup kultural masing-masing daerah, meskipun rancu bagi kita jika harus mengatakan mana yang asli dan tidak, karena memang tidak ada kriteria dalam hal itu. Asli atau tidak, tergantung dari asumsi umum di setiap daerah.

Senin, 07 November 2011

DINAMIKA TATTOO ETNIK DAYAK DAN KONTRIBUSI‐NYA BAGI WARISAN BUDAYA

Makalah ini disampaikan oleh Aman Durga Sipatiti (Durga Tatto) selaku pembicara diskusi tato dengan tema: "Dinamika Tattoo Etnik Dayak dan Kontribusinya Bagi Warisan Budaya Dunia" pada event Pesta Seni & Budaya Dayak Se-Kalimantan IX di Yogyakarta (Festival of Art & Culture of Dayak Borneo) - Jumat, 21 October 2011 di Taman Budaya, Yogyakarta-Indonesia

DINAMIKA TATTOO ETNIK DAYAK DAN KONTRIBUSINYA BAGI WARISAN BUDAYA DUNIA

Oleh Durga (Durga Tattoo) – Yogyakarta, 21 Oktober 2011

halaman 1

Istilah nama Dayak adalah diciptakan sebagai sebutan untuk menggabungkan ratusan sukusuku dan bermacam sub suku yang mendiami Borneo. Sukusuku dan sub suku Dayak yang memiliki tradisi tato, menggunakannya untuk mendefinisikan identitas mereka sekaligus juga dipakai sebagai pengikat sebuah hubungan spiritual dengan adat.

Meskipun terjadi perubahan yang sangat besar seiring berjalannya waktu dalam tatanan kehidupan modern di kehidupan urban dan pengaruhnya yang besar pada tatanan kehidupan suku Dayak, masih ada rasa dan kebutuhan mendalam untuk menjadi bagian dari budaya dan adat istiadat Dayak.

Ketika seorang lakilaki dan perempuan Dayak telah mencapai masa akil balik, ritus perjalanan hidup sering diabadikan atau ditandai melalui tato pada bagian tubuh tertentu. Pencapaian peringkat tertentu, profesi tertentu atau status social mereka, prestasi atau pengalaman hidup tertentu, penguasaan skill tertentu sering diperingati melalui tato.1 Fungsi sebagai jimat untuk memberikan perlindungan dari penyakit, bala, sihir, ancaman musuh ataupun kemalangan juga dapat ditandai melalui tato. Para pria yang bertato untuk menunjukkan keberanian, kepahlawanan, perjalanan atau perantauan, bahkan juga sebagai tropi dan catatan pribadi seberapa banyak nyawa atau kepala yang telah mereka ambil dalam pengayauan atau peperangan.

Elemenelemen atau symbolsimbol yang berasal dari alam dan lingkungan hidup serta bentukbentuk visual yang diambil atau berakar pada agama dan kepercayaan sukusuku Dayak selalu menjadi sumber dari bentukbentuk design dan motif ataupun pola tatotato Dayak.

Teknik pembuatan tato Dayak yang secara Internasional disebut dengan teknik tato handtaping, tekanan jarum tato dengan cara diketuk merupakan teknik asli dan populer selain teknik yang sama ini juga dipergunakan oleh sukusuku lain di Nusantara ataupun di wilayah Asia Tenggara dan laut Pasifik.

Untuk tradisi tato tradisional dayak, digunakan alatalat yang dikenal dengan istilah: Ulang/Lutedak, Tukul Tedak, Klinge dan Bungan Tedak. Ulang/Lutedak adalah tongkat tato yang sering terbuat dari kayu Ulin divariasikan dengan material dari tanduk rusa atau tanduk kerbau dimana jarumnya yang dulu dipakai dari duri pohon jeruk, dipasang pada bagian ujung. Tukul Tedak adalah tongkat dari kayu Ulin yang digunakan sebagai pemukul Ulang/Lutedak. Design atau motif atau pola tato diukir pada sebilah kayu Belian sebagai stempel yang dikenal dengan istilah Klinge, ditempelkan pada bagian tubuh yang akan ditato, kemudian dilaksanakan proses tato dengan teknik handtapping ini. Tinta tato Dayak dulunya dibuat dari bahanbahan natural yaitu jelaga arang Damar sebagai pigmen warna hitam dan dicampur dengan air tebu yang kemudian ditempatkan pada sebuah cawan atau mangkuk kecil yang biasanya dulu terbuat dari kayu Ulin atau kayu Belian yang disebut dengan Bungan Tedak.

Sukusuku Dayak percaya bahwa dengan pigment terhitam yang mereka rajah di tubuh mereka dan semakin banyak tato di tubuh mereka, akan bersinar terang membimbing

1 Lora S. Irish, Modern Tribal Tattoo Designs. 2009 – Fox Chapel Publishing Company, Inc. USA.

halaman 2

mereka dengan aman menuju rumah leluhur mereka di alam surga yang dikenal dengan Apo Kesio.

Namun ada banyak misteri dan pertanyaan yang masih belum bisa terkuak oleh banyak pihak seperti para antropolog, etnolog atau peneliti lain ataupun oleh para peminat dan pengamat seni tato Dayak, dikarenakan tradisi tato dari banyak sukusuku dan subsuku Dayak hampir punah dan kurangnya catatan sejarah atau dokumen tertulis dan yang tergambar.

Sebelum memasuki era pertengahan abad 19, Borneo hampir belum dikenal sampai ke dunia barat hingga setelah diterbitkannya buku yang menjadi salah satu catatan atau dokumen tertulis pertama yang pernah ada tentang sukusuku Dayak menjelang akhir abad ke 19. Hingga pada akhirnya, “The Pagan Tribes of Borneo” karangan Charles Hose dan William MacDougall yang merupakan dokumen tertulis klasik mengenai kehidupan tradisional dan adat istiadat sukusuku Dayak yang diterbitkan pada tahun 1912, setelah sebelumnya pada tahun 1906, Charles Hose dan Robert Walter Campbell Shellford3 yang melakukan kunjungan dan risetnya di Borneo dan mengumpulkan banyak informasi termasuk kumpulan design, motif atau polapola tato Dayak yang mereka gambar kembali dalam catatannya yang diberi judul “Materials for Study of Tatu in Borneo”.

Namun sebelum ketiga peneliti berkebangsaan Inggris tersebut melakukan risetnya di Borneo, Dr. Anton Willem Nieuwenhuis berkebangsaan Belanda telah 3 kali melakukan ekspedisi extensivnya ke Borneo sejak tahun 1893 hingga 1900. Dialah orang barat pertama yang berhasil menembus dan menjelajah Borneo dari sisi barat hingga sisi timur, dan dari penjelajahannya di Borneo ia membuat 2 buah buku yang tidak dipublikasikan secara besarbesaran yang berjudul “In Centraal Borneo Reis van Pontianak naar Samarinda” pada tahun 1900 dan “Quer Durch Borneo”, catatan tentang perjalanannya di tahun 1894, 18961897 dan 18981900.

Bukubuku diatas, catatancatatan tertulis dan bergambar diatas hingga kini selalu masih dipergunakan sebagai bahan referensi dan masuk list bibliografi bukubuku tato yang membahas mengenai tato sukusuku Dayak.

Masa suram dan sisi pahit yang terjadi pada budaya dan tradisi tato sukusuku Dayak yang dimulai sejak era imperialisme di masa lampau, misionaris, masuknya agama-agama dari kebudayaan asing, pemerintahan era kolonial hingga pemerintahan paska kemerdekaan Indonesia telah menghancurkan, melarang dan menghilangkan tradisi

tato Dayak.

Salah satu komentar yang memperkuat cerita mengenai masa pahitnya budaya dan tradisi tato sukusuku Dayak misalnya dari seorang tattoo artist lawas legendaris Belanda bernama Henk “Hanky Panky” Schiffmacher tercatat dan dipublikasikan dalam sebuah buku tato dan bentukbentuk body modification dalam perkembangan dan kehidupan kontemporer dan ritualnya yaitu berjudul “Modern Primitives”; “When the Dutch left Indonesia in the fifties, the new government said, “All right, no more of that spirit religion here. We want you to become either Muslims or Christiansno other religion anymore. We’re going t become a modern society.” And how do you become a

2 Steve Gilbert, Tattoo History – A Source Book. 2000 – Juno Books, LLC. USA.

3 Steve Gilbert, Tattoo History – A Source Book. 2000 – Juno Books, LLC. USA.

halaman 3

modern societywearing western clothes even though it’s hot as hell, and building skycrapers?4

Ketika jaman semakin berubah dan tatanan kehidupan moderen yang dibakukan di semua lapisan masyarakat dibentuk secara sistematis. Ketika orang sukusuku Dayak dari generasi yang berbeda mulai terpengaruh mindset yang sengaja tercipta, bahwa tato Dayak ataupun telinga panjang dan pakaian adat adalah keterbelakangan. Ketika

sudah terlalu massive masuknya banyak budaya lain dan populasi lain akibat kemajuan teknologi dan explorasi bahkan exploitasi hasil alam di Borneo.

Ketika tato Tribal mulai menjadi trend di awal 80an, kekaguman publik terhadap bentukbentuk visual atau polapola hitam yang tebal membuatnya memiliki pesona tersendiri dan berbeda dengan gaya atau aliran tato lainnya seperti traditional American tattoo dengan design jangkar atau jantungnya, ataupun aliran realistic tattoo

baik itu yang black and grey ataupun colorful, yang pada saat itu sangat populer di Amerika dan Eropa.5

Tato Tribal yang merupakan sebuah istilah mendunia hingga hari ini bisa dikatakan tetap terus mengalami masa kebangkitan dan menjadi bagian dari sebuah trend dalam dunia Tato, sejalan publik dunia di tatanan kehidupan modern memberikan perhatian cukup besar dan ingin menjadi bagian dari budaya dan tradisi tato Dayak yang

mengalami dinamika pasang surutnya serta menjadi salah satu tradisi tato etnik yang sangat terkenal seantero dunia.

Borneo telah menarik sejumlah antropolog, etnolog dan peneliti asing lainnya untuk mengunjungi Borneo dan melakukan riset dan pencatatan kebudayaan dan adat istiadat sukusuku Dayak sejak abad ke 19, banyak tattoo artist dunia dari berbagai negara yang tertarik dan berperan dalam memperkenalkan design, motif atau pola tatotato Dayak melalui karyakarya tato mereka pada tubuh publik di luar negeri sana menurut catatan dan dokumen yang ada telah dimulai sejak awal era 80an.

Dirangsang oleh berbagai apresiasi baru, permintaan atas minat dan pengetahuan akan seni dan budaya, orangorang dari segenap wilayah Pasifik, Asia hingga Afrika, Eropa dan Amerika mencoba memulihkan dan menghidupkan kembali seni tradisional mereka yang hampir hilang, termotivasi dan dibantu oleh banyak pihak yang tertarik pada praktek dan warisan budaya, khususnya tradisi tato tradisional. Kebangkitan tato Dayak sebagai salah satu budaya tato tertua dan asset penting bagi warisan tradisi tato dan budaya dunia sekali lagi telah banyak memberikan manusia modern dari berbagai pelosok di bumi ini identitas individualnya masingmasing. Sama seperti pada masa lalu sukusuku Dayak dan leluhur sukusuku Dayak, manusia modern menggunakan design atau motif atau pola tato Dayak untuk mendefinisikan pencapaian sebuah masa atau prestasi atau pengalaman hidup tertentu, apresiasi masingmasing individu dan ideide spiritual, untuk menyatukan manusia modern dengan alam yang telah amat jauh berbeda secara general seiring perkembangan lingkungan sekitar yang telah berubah drastis akibat kemajuan teknologi dan kehidupan global serta secara bersamaan merupakan sebuah konsep identitas dan individualitas personal tertentu yang membedakannya dengan personal lain atau komunitas lain.

Bila kita cermati terkadang bisa ditemukan penggunaan design atau motif atau pola tato Dayak yang diaplikasikan kurang tepat. Apakah itu misalnya design yang seharusnya untuk lakilaki tapi dibuat pada tubuh wanita atau sebaliknya, ataupun beberapa

4 V. Vale and Andrea Juno, Modern Primitives – An Investigation of Contemporary Adornment & Ritual. 1989 – RE/Search Publications. San Francisco, California, USA.

5 Judith Levin. Tattoos And Indigenous Peoples. 2009 – Rosen Publishing. New York, USA.

halaman 4

kesalahan penggunaan ataupun pembuatan yang dibuat di wilayah negeri ini atau di luar negeri. Kenyataan bahwa ketertarikan akan tato Dayak telah mewabah pada manusia modern termasuk banyak tattoo artist di Negaranegara maju sejak tahun 80an menunjukkan terjadi crossculture dengan muatan arti penting atau makna budayanya

yang sedikit atau banyak, merupakan salah satu transformasi dan penyebaran informasi tentang budaya seni tato Dayak. Proses crossculture terhadap seni tato Dayak ini memiliki potensi yang bila dicermati secara seksama akan dapat diketahui seberapa besar tertarik tidaknya manusia modern akan design, motif atau pola tato tertentu, yang

setidaknya kemudian besar design atau motif atau pola tato tersebut akan mereka adopsi ataupun mereka sesuaikan, bukan diabaikan, terlupakan dan tersiasia.6

Kenyataan bahwa tradisi tato Dayak telah lama ditinggalkan akibat banyak alasan dan penyebab seperti yang telah dijabarkan diatas dan kurangnya ketertarikan terhadap tato tradisionalnya dari anggota sukusuku dan sub suku atau orang asli Dayak maupun juga pada orangorang dari sukusuku lain yang memili tradisi tato di muka bumi ini

diperkuat juga oleh pendapat atas pengalaman pribadi Henk “Hanky Panky” Schiffmacher dan Leo Zulueta. Hanky Panky: “I have my tools (tattoo equipments) with me, and what they want you to make is like our stuff; they don’t want traditional designs. I’ll make modern designs for them; you can’t blame them.”

Leo Zulueta: “A funny thing happened when I went to Mike Malone’s studio (almarhum Mike Malone adalah salah satu tattoo artist terbesar dalam sejarah perkembangan American traditional tattoo scene) in Hawaii, right after I’d gotten my large Micronesian (gugusan kepulauan di Pasifik) back piece tattoo (which done by Don Ed Hardy). Three older tattooed Micronesians came into the shop and I talked to them for awhile, and then told them, “Hey, I’ve got a really neat Micronesianstyle tattoo on my back” and whipped off my shirt. Two of them were yawning and turning the other way before I even had my shirt back onthey were far more interested in the colored American eagles and naked lady designs on the walls!”

Jika dicermati apa yang semua telah diulas diatas, banyak pihak dari luar negeri sudah sejak akhir abad 19 telah tertarik pada budaya tato Dayak dan faktafakta tersebut sudah membuktikan bahwa betapa pentingnya arti dan positioning tato Dayak memberikan kontribusi yang teramat besar bagi warisan Budaya Dunia.

Terlepas dari sisi negatif selain bukan hanya sisi positif dari masuknya banyak peneliti dan ekspedisi budaya ke sukusuku Dayak di Borneo, ada baiknya kita selalu melihatnya dari sudut pandang positif.

Bagi kita yang di tanah air, kontribusi positif yang nyata dari berbagai pihak secara kelompok atau personal dari berbagai bidang ilmu untuk prose’s pembelajaran kembali dan perkembangan tato Dayak tidak hanya diharapkan dating dari para peneliti antropologi, etnologi dan sejarah, para tattoo artist dan publik yang ditatonya, melainkan juga dari mereka dari bidang fotografi atau video, media cetak, bidang ilmu kerajinan, misalnya untuk membuat kembali “Klinge” (stempel pahatan design/motif/pola tato pada kayu) atau perlengkapanperlengkapan tato Dayak lainnya.

Kontribusi yang bisa diberikan oleh bidang ilmu seni tato oleh seorang tattoo artist misalnya mengumpulkan dan menggambar ulang kembali design, motif atau pola tato-tato Dayak, mengaplikasikan design/motif/pola tersebut dan melestarikannya pada medium aslinya, yaitu kulit manusia.

6 Nicholas Thomas, Anna Cole and Bronwen Douglas, Tattoo – Bodies, Art, And Exchange In The Pacific And The West. 2005 – Reaktion Books Ltd. Durham, UK.

halaman 5

Semakin banyak individu secara personal membebaskan diri atas kontrol cara pikir dan ekspresi diri, dalam hal ini tubuh secara visual yang berhubungan dengan body modification, walaupun sering hak asasi mendasar ini sering dibungkam atau ditekan oleh nilainilai ataupun tatanan yang diciptakan oleh kepentingan politik ataupun agama, semakin besar kemungkinan positif bagi tradisi tato Dayak kembali dibangkitkan dan dilestarikan.7

Beberapa contoh tokoh lintas budaya dari berbagai bidang keilmuan yang tertarik terhadap seni tato Dayak dan memberikan kontribusi yang besar, misalnya:

Charles Hose, seorang etnolog, zoologist (ahli ilmu hewan) sekaligus pegawai pemerintah kolonial Inggris yang bersama dengandan dibantu oleh William MacDougall, seorang psikolog Inggris yang pada tahun 1912 menerbitkan catatan dan dokumen tertulis dan gambar tentang kehidupan tradisional, adat istiadat dan design, motif, pola tato sukusuku Dayak, dan membukukannya dengan judul “The Pagan Tribes of Borneo”. Sebelumnya, Charles Hose bersama dengandan dibantu oleh Robert Shelford, seorang entomologist (ahli ilmu serangga) dan pegawai museum kebangsaan Inggris, mengumpulkan dan menggambar design, motif, pola tato Dayak Kayan dan Dayak Kenyah dalam catatannya yang berjudul “ Materials for a Study of Tatu in Borneo” pada tahun 1906.

Leo Zulueta, dikenal sedunia sebagai bapak Neo tribal Tattoo sejak masa lahir dan berkembangnya aliran Neo Tribal di era 80an. Karyakarya tatonya di masa itu yang berbasis pada designdesign tato tradisional Polinesia, Micronesia dan Borneo ! menjadi inspirasi sedunia menjadi salah satu contoh sebuah pelestarian dan perkembangan tradisi seni tato tradisional berikut designdesignnya.

Leo Zulueta adalah salah satu dari banyak tattoo artist barat yang tertarik menggunakan motifmotif tato Dayak sekaligus juga mengolahnya hingga kemudian tercipta sebuah aliran baru dalam dunia tato yang kita kenal sebagai NeoTribal. Semakin terkenal semenjak muncul dalam buku “Modern Primitives”, bahkan dia tidak

mengangap dirinya sebagai orang yang patut dijadikan sebagai inspirasi dunia dalam perkembangan tato tribal. Karyakaryanya mengacu pada penelitian design tato tradisional sebagai pelestarian tradisi dan estetika. Dia pernah mengungkapkan, “semua orang tua yang memiliki tato motifmotif sukunya telah meninggal… Orang terakhir

yang memiliki tattoo pada punggungnya sama seperti yang ada pada punggung saya, yang berumur lebih dari Sembilan puluh tahun, telah meninggal beberapa tahun lalu.

Oleh karenanya dapat jelas diterangkan mengapa saya benarbenar merasa bersemangat untuk melestarikan designdesign tato tua tersebut”.8

Leo Zulueta yang keturunan Filipina, sempat dibesarkan di Hawaii dan berkewarganegaraan Amerika Serikat, adalah sebuah contoh yang dapat menunjukkan bahwa adalah cukup kompleks dan fariatif untuk menerangkan bagaimana seorang tattoo artist termotivasi dalam proses panjang penciptaan karya tato tribalnya. Kecenderungan yang seringkali terlihat adalah dikarenakan biografi pribadi lintas budayanya daripada dikarenakan pengalaman hidup monodimensional.9

7 Rufus C. Camphausen, Return Of The Tribal – A Celebration Of Body Adornment. 1997 – Park Street Press. Vermont, USA.

8 V. Vale and Andrea Juno, Modern Primitives – An Investigation of Contemporary Adornment & Ritual. 1989 – RE/Search Publications. San Francisco, California, USA.

9 Nicholas Thomas, Anna Cole and Bronwen Douglas, Tattoo – Bodies, Art, And Exchange In The Pacific And The West. 2005 – Reaktion Books Ltd. Durham, UK.

halaman 6

Henk “Hanky Panky” Schiffmacher, seorang tattoo artist legendaris asal Belanda dan pemilik museum tato di Amsterdam yang dulu selalu berpetualang ke semua tempat yang memiliki tradisi tato sukusuku asli, termasuk diantaranya pada tahun 1985 ke Indonesia yaitu ke Borneo & Mentawai. Di eranya pada awal 80an, ia cukup banyak

membuat tato motif Borneo dan kadang dipadukannya dengan motif Viking, Samoa ataupun Maori. Anthony Kiedis, seorang penyanyi sebuah band Amerika bernama Red Hot Chilli Peppers pernah diajak bersamanya mengunjungi Borneo pada tahun 1985.

Chris Wroblewski, seorang fotografer dan penulis buku tato terkemuka asal Inggris telah mengunjungi Borneo dan mengabadikan riset fotografi tentang suku Dayak Iban dan tatonya pada tahun 1983, tapi baru pada tahun 2004 mendapatkan kesempatan untuk menerbitkan bukunya yang berjudul Skin Shows – The Tattoo Bible yang

mempublikasikan hasil jepretan fotonya tentang Dayak Iban dan tatonya dalam 1 bab tersendiri.

Tom Lockhart, seorang tattoo artist Canada dan Vince Hemingson, seorang penulis dan ahli sejarah tato melakukan ekspedisi ke Borneo pada tahun 1987 dengan dibantu oleh Edi “Borneo Ink”dan mengabadikan perjalanan mereka dalam film dokumenter mereka berjudul “The Vanishing Tattoo” yang baru dipublikasikan tahun 2003.

Lars Krutak, seorang antropolog tato terkenal kebangsaan Amerika Serikat yangbmasih selalu melakukan ekspedisi budaya tato dan body modification lainnya di di banyak sukusuku di bebagai penjuru dunia. Karyakarya penelitian dan ekspedisinya bisa kita nikmati hingga kini di salah satu bukunya yang juga mengupas tentang tatotato Dayak yang berjudul “Tattooing Arts of Tribal Women” yang dipublikasikan tahun 2007 dan beberapa video dokumenter yang disiarkan oleh saluran berbagai liputan dan video dokumenter di Discovery Channel ataupun National Geographic.

Jeroen Franken, seorang tattoo artist Belanda yang sampai kini tetap kadang membuat tatotato Dayak. Ia pernah berkunjung ke perkampungan Dayak Iban dan membuat sebuah buku reportase perjalanannya dengan judul “Pantang Iban”.

Tattootattoo artist lain yang turut menggali, membuat kembali, mengenalkannya pada publik dunia, melestarikan design/pola/motif tato Dayak pada medium aslinya yaitu kulit manusia, seperti Ernesto Kalum dari Borneo Headhunter, Jeremy Lo & Boy Skrang dari Monkey Tattoo, Herpianto Folk Hendra & Erzane Folk Aksentrik dari Folkspace Tattoo, dll.

Catatan bibliografi:

• V. Vale and Andrea Juno, Modern Primitives – An Investigation of Contemporary Adornment & Ritual. 1989 – RE/Search Publications. San Francisco, California, USA.

• Chris Wroblewski, Skin Shows – The Tattoo Bible. 2004 – Cameron House. Wingfield, Australia.

• Rufus C. Camphausen, Return Of The Tribal – A Celebration Of Body Adornment. 1997 – Park Street Press. Vermont, USA.

• Lora S. Irish, Modern Tribal Tattoo Designs. 2009 – Fox Chapel Publishing Company, Inc.

USA.

• Judith Levin, Tattoos And Indigenous Peoples. 2009 – Rosen Publishing. New York, USA.

• Nicholas Thomas, Anna Cole and Bronwen Douglas, Tattoo – Bodies, Art, And Exchange In The Pacific And The West. 2005 – Reaktion Books Ltd. Durham, UK.

• Steve Gilbert, Tattoo History – A Source Book. 2000 – Juno Books, LLC. USA.

• Henk Schiffmacher, Ronald Timmermans & Almar Seinen, Henk Schiffmacher. 2007 – d’jonge Hond Publishers. Harderwijk, The Netherlands.

halaman 7

• Chris Wroblewski, Tattoo – Pigments of Imagination. 1987 – Alfred van der Marck Editions. New York, USA.

• Chris Rainer, Ancient Marks – The Sacred Origins of Tattoo and Body Marking. 2004 – Earth Aware Editions. California, USA.

• Lawrence Blair & Lorne Blair, Ring of Fire An Indonesian Odyssey. 1991Thames & Hudson. London, UK.

• Pierre Pfeffer, Biwak auf Borneo. 1965Schwabenverlag. Stuttgart, Germany.

• Henk Schiffmacher the Original Hanky Panky, Encyclopedia for the Art and History of Tattooing. 2010 – Uitgeverij Carrera, an imprint of Dutch Media Uitgevers BV. Amsterdam, The Netherlands.

• Maarten Hesselt van Dinter, Tribal Tattoo from Indonesia. 2007Mundurucu Publishers. The Netherlands.

• Joergen Bisch, UluThe World’s End. 1961George Allen & Unwin Ltd. London, UK.

• N. A. Douwes Dekker, Tanah Air Kita. 1951 – W. van Hoeve Gravenhage, Den Haag, The Netherlands



NB: foto-foto tidak dapat di tampilkan,silahkan dilihat di
http://www.facebook.com/notes/aman-durga-sipatiti/dinamika-tattoo-etnik-dayak-dan-kontribusinya-bagi-warisan-budaya-dunia/10150368006814586#!/notes/lembaga-studi-dayak/dinamika-tattoo-etnik-dayak-dan-kontribusinya-bagi-warisan-budaya-dunia/1608833036036