Rabu, 16 Mei 2012

Jejak Peninggalan Hindu-Buddha di Kalimantan Barat?

Oleh: Wilhelmus R. (mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Sanata Dharma)  


Selama ini pengaruh Hindu-Buddha di Nusantara (Indonesia.red) yang kita ketahui hanya bernuansakan pada budaya masyarakat 'Jawa' dalam konteks kekinian, misalkan terselipnya lakon pewayangan dalam tradisi abangan (Kejawen.red). Sementara di luar Jawa, nuansa tadi telah tergerus seiring jaman, Sumatera misalnya; di mana Kerajaan Sriwijaya pernah mencapai puncak keemasannya di masa pemerintahan Balaputeradewa (circa, 856-). Di wilayah yang sekarang kita sebut 'Palembang' nuansa Buddha yang tersisa hanyalah berupa bukti fisik seperti beberapa prasasti,dan candi Muara Takus peninggalan kerajaan Sriwijaya. Nuansa abstrak? sepertinya masih terpelihara oleh sebagian kelompok masyarakat, hanya saja dalam bentuk pencitraan yang lain terlebih dengan masuk budaya 'Islam' di awal abad ke-19. Menilik pada hal tersebut di atas, wilayah lainnya selain Sumatera (Swarnnabhūmi) dan Jawa (Jawadipa) mengalami hal yang sama tidak terkecuali Kalimantan. Pengaruh Hindu mulai redup sejak masuknya budaya Islam di daerah pesisir, bahkan kerajaan Hindu tertua di nusantara Kutai (berdiri sekitar abad ke-4) beralih menjadi Islam setelah ditaklukkan oleh Kutai Kertanegara (berdiri sekitar tahun 1300an) yang kemudian menjadi kerajaan Islam di masa pemerintahan Aji Muhammad Idris (1735-1778). Demikian juga dengan kerajaan lainnya seperti kerajaan Matan, Sukadana dan Landak di Kalimantan Barat.

Bagaimana dengan Kalimantan Barat?. Dalam konteks ini, budaya Hindu memang telah berkembang di Kalimantan jauh sebelum berdirinya kerajaan Mataram Hindu (752-1045), atau sejaman dengan kerajaan Tarumanegara (358–669) di Jawa Barat. Kerajaan Kutai Hindu tidak bertahan lama, besar 'kemungkinan' penerus terakhir dari masa ini sepeninggal raja Dharma Setyawarman menyingkir ke pedalaman Kalimantan. Dari berbagai literatur, beberapa kerajaan di Kalimantan Barat termasuk dalam wilayah kekuasaan Singhasari (1222-1292) dan Majapahit (1293-1500), tetapi kerajaan-kerajaan taklukkan ini berada di pesisir termasuk Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur. Sedangkan di pedalaman Kalimantan beberapa kerajaan (sebelum ekspedisi Pamalayu utusan raja Singasari) yang bercirikan Hindu berdiri sendiri, tidak terjangkau oleh kekuatan dari luar, termasuk di antaranya Kerajaan Sanggau (J.U Lontaan, 1975:170) dan Kerajaan Sintang yang keduanya didirikan sekitar akhir abad ke-4, yang sekarang menjadi bagian dari propinsi Kalimantan Barat (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:15). 

Dari kerajaan Sanggau dan Sintang inilah berbagai spekulasi bermunculan berkenaan dengan keberadaan Batu Bertulis yang ditemukan di Dusun Pait, sekitar 30 km dari Nanga Mahap, kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Keberadaan situs sejarah ini sering dibahas di berbagai media, sehingga menarik minat dari Pemerintah Pusat (Puslitar dari Jakarta tahun 1982) termasuk ilmuan-ilmuan asing untuk meneliti langsung peninggalan sejarah tersebut. Dari penelitian-penelitian tadi ditarik kesimpulan; situs tersebut diperkirakan telah ada sejak tahun 650 pada abad ke-7 M, dan bertuliskan huruf Pallawa berbahasa Sankskerta. Dari fakta lunak di atas, tampaknya teori tentang Batu Bertulis merupakan peninggalan kedua kerajaan tadi menjadi masuk akal. Akan tetapi belakangan berbagai perdebatan mengenai ‘teori’ tersebut mulai dibicarakan tanpa titik temu yang jelas. Inilah yang disebut wilayah ‘rentan’ dalam sejarah. Beberapa perdebatan ini dapat diuraikan sebagai berikut.

1.      Batas wilayah kekuasan antara Kerajaan Sanggau (berpusat di Mengkiang) dan Kerajaan Sintang  (berpusat di Sepauk) tidak pernah terpetakan dengan jelas (J.U Lontaan, 1975:170). Sedangkan wilayah Sekadau dalam beberapa literatur lokal sebagian masuk dalam kekuasaan Kerajaan Tayan yang didirikan oleh Gusti Likar seorang raja keturunan Majapahit (Usman, 2002).
2.      Aksara yang terdapat di Batu Bertulis berhuruf Pallawa, berbahasa Sanskerta. Dalam literatur disebutkan beberapa kerajaan di pesisir Kalimantan menggunakan bahasa Melayu Kuno berhuruf Pallawa kecuali Kutai Hindu. Antithesis ini merunut pada pengaruh Sriwijaya (600-an s/d 1100-an) yang saat itu menguasai nusantara termasuk Kedah dan Johor  (sekarang bagian dari Malaysia).
3.      Disebutkan Patih Logender yang memimpin Ekspedisi Pamalayu berkunjung ke Sintang atas perintah raja Singhasari, Kertanegara dan menikah dengan Putri raja Sintang saat itu (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:19). Patih Logender  inilah yang disebut-sebut membangun Batu Bertulis yang ada sekarang, disebabkan kebiasaan yang dilakukan oleh raja-raja di Jawa sebagai batu peringatan layaknya Prasasti. Tetapi Logender hanyalah sebagai penasehat kerajaan, sedangkan yang berhak mengeluarkan bentuk ‘peringatan’ semacam itu, dalam hal ini adalah istrinya sendiri Dara Juanti saat itu menjadi Ratu Sintang (1291-??).
4.      Jika memang Batu Bertulis dibangun sekitar tahun 650, maka pengaruh Hindu berasal dari Kutai, bukan dari Singhasari atau Majapahit. Hal ini merujuk pada prasasti Yupa peninggalan Kutai berhuruf/bahasa yang sama seperti Batu Bertulis. Sedangkan di masa Singhasari dan Majapahit, prasasti tentang keduanya  sebagian berbahasa kawi. Sejarah dua kerajaan tadi juga tertulis di lembaran-lembaran lontar yang sekarang kita kenal dengan ‘Pararaton’ dan ‘Negarakertagama’ dan beberapa kitab lainnya termasuk Sutasoma. Prasasti yang ditemukan di Jawa sebagian merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Hindu.

Terlepas dari banyaknya teori tentang keberadaan Batu Bertulis yang sekarang menjadi aset berharga bagi kita semua. Teori-teori tadi hanyalah spekulasi berdasarkan gambaran umum yang terjadi saat itu. Mengingat, sifat sejarah itu sendiri yang dinamis, berbagai perkembangan di masa sekarang ini sekiranya perlu dikaji dan dibahas kembali agar tidak berlalu begitu. Demikianlah, salah satu cara serta upaya kita untuk menghargai sejarah dalam pelbagai aspek. Sekiranya catatan ini dapat menjadi referensi yang sedikit mungkin bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat kekurangan dalam tulisan ini, atau mungkin ada sesuatu yang baru, yang terlewatkan mohon untuk diperbaharui dan dikoreksi. Wassallam…..

Rabu, 04 Januari 2012

Kontribusi Positif PSBDK bagi Mahasiswa


Terselenggaranya Pesta Seni dan Budaya Dayak se-Kalimantan (PSBDK) berawal dari kerinduan mahasiswa Dayak di Yogyakarta akan tradisi dan budayanya yang jauh di kampung halaman. Dalam perjalanannya, kegiatan tersebut mendapat apresiasi yang sangat baik dari berbagai kalangan, baik pelajar dan mahasiswa (terutama kalangan mahasiswa Dayak) maupun para pemerhati budaya yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya untuk berpikir lebih jauh bagaimana cara mengembangkan “Gawai Dayak” ini sebagai promosi dan usaha melestarikan budaya Dayak baik pada tingkat Nasional maupun Internasional. Tidak hanya itu, PSBDK diharapkan mampu membangun semangat kekeluargaan dan kerjasama yang baik di kalangan mahasiswa Dayak sebagai wujud realitas kehidupan masyarakat Dayak di Betang Panjang.


PSBDK pertama kalinya diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 2002 oleh Forum Komunikasi Pelajar Mahasiswa Kristiani Sintang (FKPMKS). Secara berturut-turut hingga tahun 2011 PSBDK diselenggarakan oleh Himpunan Pelajar Mahasiswa Dayak Kapuas Hulu (HPMDKH) tahun 2003, Forum Komunikasi Pelajar Mahasiswa Kabupaten Sintang (FKPMKS) tahun 2004, Ikatan Keluarga Besar Kabupaten Sanggau Yogyakarta (IKBKSY) tahun 2005, Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Sekadau (IPMKS) tahun 2007, Forum Komunikasi Mahasiswa Kabupaten Melawi (FOKUS MAPAWI) tahun 2008, Ikatan Pelajar Mahasiswa Dayak Kutai Barat (IPMDKB) tahun 2009, Forum Mahasiswa Kabupaten Landak (FORMAKAL) tahun 2010 dan terakhir pada tahun 2011 oleh forum mahasiswa Ketapang Bujang Dare Kayong (Bedayong).

PSBDK X tahun 2012 akan digelar oleh Forum Pelajar dan Mahasiswa Kabupaten Bengkayang. Hingga lustrum kedua, PSBDK tanpa kita sadari telah banyak memberikan kontribusi positif bagi para mahasiswa Dayak di Yogyakarta dan sekitarnya. Kontribusi positif ini berupa pengalaman dan pembelajaran organisasi bagi para mahasiswa yang terlibat langsung dalam kepanitian maupun anggota forum peserta PSBDK. PSBDK dapat dikatakan media pembelajaran mahasiswa dalam berorganisasi diantaranya bagaimana cara bekerja dalam sebuah tim, belajar menjadi seorang konseptor, belajar menyusun anggaran, belajar memimpin dan mengurus orang banyak, belajar menjadi tuan rumah yang ramah dan tegas, belajar mencintai dan melestarikan budaya dan menghormati adat, belajar berkomunikasi/diplomasi dengan para pejabat serta pihak-pihak lain yang terlibat serta bagaimana membuat laporan pertanggung jawaban yang transparan dan akuntabel. Hasil belajar dalam PSBDK memberikan pengalaman yang sangat berarti bagi masing-masing individu mahasiswa yang mungkin tidak didapatkan dalam bangku kuliah dan kelak akan menjadi modal utama ketika berhadapan langsung dengan masyarakat dan dunia kerja.


Dalam pelaksanaan PSBDK oleh mahasiswa Dayak tentunya sedikit banyak terdapat berbagai kekurangan, kelemahan serta hambatan. Kritikan atau saran dari berbagai pihak hendaknya menjadi bahan evaluasi bersama agar kedepannya PSBDK menjadi lebih baik dan berkembang. Sangat disayangkan jika kegiatan bertajuk cinta dan peduli akan budaya Dayak tiba-tiba harus terhenti di tengah jalan. Kita berharap agar pemerintah daerah di Kalimantan tetap mendukung kegiatan PSBDK. Karena kegiatan tersebut merupakan wujud kepedulian para mahasiswa dan orang muda terhadap daerah serta upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) mahasiswa Dayak pada umumnya.

(Michael Yoga Anes, Ketua Lembaga Studi Dayak Yogyakarta, mahasiswa Dayak asal Singkawang, Kal-Bar)