Jumat, 04 November 2011

Politik Revivalisme Budaya Lokal Melalui Tato Neo-Tribal

Paper di sampaikan oleh bapak Hatib Abdul Kadir selaku pembicara dalam diskusi dan workshop tattoo, sebagai bagian dari rangkaian acara PESTA SENI DAN BUDAYA DAYAK SE-KALIMANTAN IX 2011 di Taman Budaya Yogyakarta, tanggal 21 Oktober 2011, dengan tema: "DINAMIKA TATTOO ETNIK DAYAK, DAN KONTRIBUSINYA BAGI WARISAN BUDAYA DUNIA"

Politik Revivalisme Budaya Lokal Melalui Tato Neo-Tribal

oleh: Hatib Abdul Kadir


Renaisans Tato Tradisional

Definisi tato mempunyai kemiripan yang sama di berbagai belahan dunia, yakni Tatoage, tatouage, tätowier, tatuaggio, tatuar, tatuaje, tatoos, tattueringar, tatuagens, tatoveringer, tattos, dan tatu. Definisi ini menunjukkan bahwa ada difusi atau persebaran kebudayaan tato dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Salah satu tato yang paling tua di Indonesia mulai dikenal sejak orang Mentawai, yang merupakan bangsa Proto Melayu dari daratan Asia, datang ke pantai barat Sumatera, di zaman Logam, 1500-500 sebelum Masehi. Tato Mentawai berhubungan erat dengan budaya dongson di Vietnam. Karena diduga, dari sinilah orang Mentawai berasal. Dari negeri moyang itu, mereka berlayar ke Samudra Pasifik dan Selandia Baru. Akibatnya, motif tato serupa ditemui juga pada beberapa suku di Hawaii, Kepulauan Marquesas, suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, serta suku Maori di Selandia Baru. Ketika jaman logam ditemukan dan kemunculan kreasi penajaman benda-benda tumpul, baik itu dari tulang maupun logam. Tato pada masyarakat tradisional sangatlah signifikan karena manusia masih pada tahap menuliskan pengalaman mereka bukan di atas carik kertas atau daun yang diberi tinta jelaga, melainkan pada tubuh yang lebih mobile. Batas-batas lingkungan juga belum secanggih sekarang, dimana setiap identitas yang multiple dapat ditunjukkan melalui gerbang kota, pagar, sistem kepercayaan, ras, hingga identitas supporter sepakbola yang membatasi antar region. Pada masyarakat tradisional, tato sekaligus digunakan sebagai batas wilayah. Bukti tuanya tradisi tato juga dapat dilihat pada perempuan yang menggunakan tato. Ini menunjukkan bahwa sebelum masuknya agama-agama besar yang bersita misoginy (membenci dan mendiskriminasi perempuan) seperti agama-agama Samawi, tato secara demokratis disandang baik oleh laki-laki dan perempuan.

Tato pada masyarakat tradisional menunjukkan struktur pemikiran masyarakatnya. (Structures of Mind) Sebagai misal dalam alam kosmologi Dayak mengenal tiga dunia yakni dunia atas dunia tengah dan dunia bawah. Setiap dunia tersebut mempunyai dewa yang di percaya. Tato yang mencerminkan dunia atas antara lain bergambar Burung Enggang, Bulan dan Matahari. Sedangkan tato yang merepresentasikan dunia tengah antara lain disimbolkan dengan gambar alam lingkungan sekitar yang dapat membawa kesuburan dan kehidupan seperti hewan dan tetumbuhan. Salah satunya adalah gambar tato Sabang Sawalik atau Sawang yang dianggap sebagai pohon kehidupan. Tato yang menyimbolkan dunia bawah biasa bergambar Naga. Status sosial dalam sebuah komunitas juga dapat di munculkan melalui tato. Para klas elit seperti kepala suku, tetua desa, shaman, panglima perang biasanya menato tubuh mereka dengan gambar-gambar yang berhubungan dengan dunia atas. Sedangkan tato pada dunia tengah biasnya di kenakan oleh seorang Imam, yakni seseorang yang menjadi penengah antara dunia atas dan dunia bawah. Sedangkan masyarakat pada umumnya mentato tubuh mereka dengan simbol dunia bawah. Tipe-tipe tato tersebut merupakan warisan dari generasi seblumnya, sehingga satu kelompok/klas tidak diijinkan menggunakna tato kelas lain.

Di sisi lain, tato tradisional juga sekaligus menunjukkan orang tersebut telah berbuat sesuatu, sebagai misal tato yang menunjukkan pengalaman mengayau pada masyarakat berburu dan meramu. Setelah masa mengayau mulai jarang dilakukan, khususnya pada masyarakat Kalimantan Tengah (sebagai misal dalam Perjanjian Damai Tumbang Anoi Tahun 1894 di Tumbang Anoi yang mengakhiri masa perang antar suku dan mengayau) makna tato mulai bergeser sebagai tanda bagi seseorang yang melakukan perjalanan merantau. Pada mode fungsi tato lainnya, menunjukkan fungsi pembagian kerja (division of labour) sebagai seorang pasukan perang ditato berdasarkan prestasi-prestasinya berburu dan mengayau. Sedangkan perempuan ditato berdasarkan pengalaman keahlian dalam menenun, menari dan menyanyi. Tato tradisional juga menunjukkan kejeniusan filsafati masyarakat adat dalam memandang dirinya sebagai manusia. Individu adalah hewan, individu adalah tumbuhan, dan tumbuhan adalah makhluk hidup, serta hewan adalah makhluk hidup pula. Ini menguatkan pandangan sosiolog Talcott Parsonn yang berasumsi bahwa sistem masyarakat adalah gabungan antara sosiologi dan biologi. Dalam sistem sosial, Manusia adalah makhluk yang hidup mengatur dirinya sendiri; sistem sosial tersusun dari bagian yang berfiferensiasi yang memebdakannya dari lingkungan sekitar. Manusia mempunyai batas, layaknya organisme satu sama lain. Dalam sistem sosial, manusia selalu beradaptasi dengan alam layaknya binatang. Manusia mempertahankan strukturnya dalam menghadapi lingkungan yang tidak bersahabat dan misterius. Gabungan antara sistem sosial dan mode kehidupan organisme hewan dan tanaman ini tampak pada tato flora masyarakat Dayak Iban misalnya, yang mensimbolisasikan kekuatan spiritualitas. Tanaman dianggap sebagai sumber utama kehidupan, yang juga menentukan hidup dan matinya organisme manusia.

Pada masyarakat Iban misalnya, padi sebagai tanaman dianggap jiwa dari nenek moyang dan ketika terurai dalam perut mampu menciptakan energy fisik bagi masyarakat. Sedangkan bagi perempuan kayan, Tato menggambarkan motif ular atau yang disebut aso umum ditemui hingga awal abad 20. Motif berbentuk ular tersebut tergambar di bagian dua belah paha berbentuk vertikal sehingga menyerupai huruf A. Tato bermotifkan kulit ular ini dipercaya mampu mengusir roh-roh jahat. Sedangkan tato bermotif silong lejau (wajah harimau) dan juga tato berbentuk buaya adalah tato hewan lainnya yang mempunyai simbol kekuatan dan digunakan untuk melawan roh-roh jahat. Tato ini sangat berhubungan dengan kekuatan perdukunan atau samanisme. Para penghuni di rumah panjang yang mempunyai tato motif hewan ini mampu mencegah masuknya roh-roh jahat dan juga wabah ke dalam rumah. Selain itu burung rangkong adalah motif paling penting karena burung ini dipandang sebagai utusan dari dewa perang. Motif tato lainnya adalah kalajengking dan ular air, Semua yang melindungi pemakainya dari roh jahat bersembunyi di hutan.

Gambar tato rosette adalah hiasan berbentuk mawar yang juga dipercaya sebagai mata anjing oleh masyarakat Iban.

Dengan demikian, Tato tradisional masyarakat Dayak merupakan bentuk seni spiritual yang menggabungkan antara kehidupan manusia, hewan dan tanaman kedalam satu unit. Tujuannya adalah menjaga keseimbangan kosmos, roh-roh jahat yang merusak, mengundang kesuburahn hingga memaknai kematian sebagai kelanjutan dari kehidupan yang abadi.

Prosesi tato tradisional juga memakan waktu yang lama, karena melibatkan seluruh keluarga. Dalam tradisi Dayak misalnya, sebelum melakukan penatoan biasanya dilakukan proses persiapan ritual, pendoaan kepada nenek moyang. Satu hari sebelum melakukan penatoan hal ini biasa di sebut dengan mela malam. Keesokan paginya seluruh keluarga inti perempuan akan membawa individu yang hendak ditato ke sanak keluarga dan tetangga yang dekat dengan rumah panjang. Sedangkan ritual operasi penatoan itu sendiri di laksanakan di sebuah rumah khusus yang memang disediakan oleh kelompok keluarga. Selama proses penatoan yang cukup menyakitkan tersebut, sanak famili harus mendampingi dan tidak pergi kemanapun. Proses pertama penatoan, tubuh akan disketsa dengan menggunakan alat tulis yang kemudian secara perlahan-lahan di tusuk dengan jarum yang berisi tinta hingga berdarah. Sedangkan bahan tinta terbuat dari getah tumbuh-tumbuhan. Agar individu yang ditato tidak bergerak, sebuah lesung besar biasanya diletakkan diatas tubuh. Jikapun ia menangis, maka tangisan tersebut harus dilakukan dalam alunan nada yang juga khusus. Selama ritual penatoan tersebut seluruh keluarga laki-laki juga di wajibkan memakai pakaian adat yang terbuat dari kulit kayu/cawat. Pakaian model ini biasa digunakan oleh mayat seorang tetua desa yang meninggal ketika dalam upacara pemakaman atau juga dapat digunakan oleh pasangan yang ditinggalkan. Lama-kelamaan tradisi tato dengan proses panjang dan menyakitkan seperti diatas telah ditinggalkan.

Tradisi tato tradisional rentan sekali mengalami kepunahan mengingat usianya yang tua, telah ada sebelum periode masuknya Islam dan yang terpenting adalah, hampir semua pelaku kebudayaan tato ini adalah masyarakat yang berjumlah populasi sangatlah kecil. Sebagai misal di perkirakan jumlah populasi masyarakat Dayak Iban ada 12.000 jiwa. Itupun sudah termasuk sebagai subsuku Dayak dengan populasi terbanyak ketiga di Kalimantan Barat. Bandingkan dengan jumlah populasi masyarakat Jawa yang bukan berburu dan meramu, melainkan bertani dan tidak mempunyai tradisi budaya tato secara popular.

Selain itu, punahnya tato tradisional telah seringkali dianalisis, karena munculnya Negara dan juga agama-agama besar yang tidak ramah terhadap rajah tubuh ini. Jika mengikut pada konsepsi Michel Foucault, segala bentuk pendisiplinan dan hukuman tubuh, maka hasil akhir dari total subjugation nya, bukanlah resistensi melainkan “bio struggle” yakni menciptakan kesenangan dibalik kontrol yang total dan disiplin terhadap tubuh. Padas masyarakat modern tingkat tinggi, tato tidak dilihat sebagai mode resistensi melainkan kesenangan dan tren. Kesenangan ini merupakan respon balit terhadap gaya berpikir kekinian dan linear dalam dunia modern. Kesenangan bertato masyarakat postmodern juga dapat mengacu pada konsep sebagai Simulacra" yakni konsep majemuk dari "simulacrum" yang berarti kesukaan yang bersifat superficial dalam istilah Baudrillard’s (1994). Istilah ini mengacu pada aktivitas peniruan yang dihubungkan dengan era pra-modern.

Munculnya berbagai mesin tato, berhasil mempercepat, mengurangi rasa tato dan mengeliminasi mode ritual dan simbolisasi spiritual dalam tato tradisional. Tato elektrik dengan beberapa perangkat mesinnya pertama kali diilhami karena penemuan cetakan pena oleh Thomas Alva Edison (1847-1931). Penemuan mesin tato merupakan pintu gerbang menju kecepatan mesin tato modern yang mampu merajah ke kulit antara 2000-3000 tusukan permenit. Tusukan ini jauh lebih cepat di banding tato manual seorang master tattois Jepang yang mempunyai kecepatan rajahan 90-120 permenit. Selain itu mesin tato modern mampu mereduksi rasa sakit secara signifikan. Munculnya mesin tato modern ini juga salah satu andil terlupakannya tato tradisional yang dianggap lama dan menyakitkan. Tato pada masyarakat modern tingkat tinggi tidak lagi mendebatkan apakah perajahan tubuh ini adalah tindakan yang identik dengan kriminalias atau tidak, melainkan melampaui perdebatan tersebut dan telah beranjak pada isu-isu pembuatan tato yang higienis, Hal ini di karenakan mulai tumbuhnya kesadaran dan keprofesionalan di kalangan tattoist untuk selalu menggunakan sarung tangan, jarum, tinta, sabun anti kuman (disinfectan soap) yang steril dan sekali pakai.

Modernitas dan People Without Culture?

Tulisan ini berasumsi dasar pada dua hal, pertama, perubahan yang terjadi pada struktur sosial, berakibat pada berubahnya mentalitas dan ide budaya yang terjadi pada masyarakat. Perubahan struktur tradisionalitas ke modernitas misalnya, tidak hanya mengubah pula pemaknaan manusia terhadap Tuhan, tapi juga perubahan bentuk karya seni, perubahan kota, perubahan arsitektur, hingga perubahan perlakuan terhadap tubuh. Demikian pula, ketika struktur modern diperkenalkan, dominannya agama-agama besar, berlakunya hukum positif, mengubah pula tradisi-tradisi yang dianggap primitive seperti kekerabatan keluarga besar, mengayau dan juga tradisi menato. Tatkala kehidupan sosial politik di Indonesia mengusung modernitas pembangunan ambruk bersama rejim Orde Baru, maka terjadi pula perubahan pada bukan hanya seni, arsitektur dan juga model-model tato dan persepsi masyarakat luas dalam melihat orang bertato. Seperti juga ciri khas struktur modernitas, yakni sekularisasi, dalam tato modern, kepraktisan proses pembuatan tato di parlor-parlor modern memisahkan nilai sakral dan sisi relijiusitas tato. Sedangkan salah satu ciri tato neo tribal masyarakat urban adalah melakukan reaksi terhadap modernitas dengan mencari desain tato yang berhubungan pada nilai spiritualitas antara tato dan berbagai kepercayaan yang mengikut didalamnya.

Kedua, munculnya revivalisme tato tak lepas dari gelombang globalisasi pada saat ini yang bergerak justru dari arus bawah. Seperti gerakan lingkungan hijau, gerakan indigenisme dan tanah adat yang terjadi dari pertengahan tahun 1990-an mulai dari kasus orang Maya di Amerika, Aborigin di Australia, hingga merambat belakangan ini di Indonesia. Gerakan ini menunjukkan bahwa globalisasi tak selalu diusung oleh media dan masyarakat klas atas seperti yang kita bayangkan selama ini, tapi juga orang-orang akar rumput juga mempunyai kekuatan untuk melakukan gerakan “globalisasi arus bawah tersebut”. Dengan demikian, saya melihat bahwa munculnya promosi terhadap tato-tato tradisional merupakan ajang pengakuan kembali atau “inklusi” terhadap masyarakat tribal yang selama ini menjadi korban kemajuan dan pembangunan, menghadapi diskriminasi sistematis, mengalami tingkat kemiskinan yang akut, dan buta huruf tinggi. Revivalisme tato di Mentawai juga menunjukkan bahwa masyarakat pribumi telah memasuki kembali sebuah arena kekuasaan dalam menentukan identitasnya, seperti pula terjadi pada masyarakat indigen di belahan benua lainnya.

Pengutamaan modernitas adalah pada pengejaran tiada henti pada produk-produk “kekinian”, sehingga melupakan masa lalu sebagai bagian dari produk kekinian. Karena itu masyarakat yang mempunyai tradisi tato sesungguhnya tengah ditempatkan sebagai “people without culture” dimana masyarakatnya ada, namun dipaksa untuk menghilangkan kebudayaannya. Di beberapa kawasan lokal, seperti Timor, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan lainnya, tato merupakan kekayaan Indonesia yang dipaksa untuk nyaris hilang. Padahal, dari tato-lah, kita dapat melihat seperti apa bangunan pemikiran yang ada dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga di setiap daerah, tato pasti mempunyai bentuk dan ciri khasnya yang berbeda. Desain Tato dari kawasan Sulawesi misalnya, mempunyai motif bergaris-garis dengan lekukan ukiran yang serupa pada rumah-rumah tradisionalnya. Sedangkan tato dari kawasan Pulau Roti, Timor lebih menyerupai lepasan-lepasan helai bulu burung, terkesan sederhana tapi tetap anggun dengan satu garis saja. Motifnya menyerupai capung atau seekor burung yang ramping. Terdapat pula bentuk tato dadu, lingkaran, garis membentuk kotak dengan empat atau satU lingkaran didalamnya, yang kesemuanya menegaskan keseimbangan antara kanan dan kiri. Di Seram, tato orang-orang kakehan dianggap sebagai tanda pela (persaudaraan) pasca seremoni ritual. Tato orang-orang kakehan dapat ditafsirkan pula sebagai “selesai sudah” atau selesai dalam perseteruan dan ditandai dengan tato di bagian bagian dada kiri berbentuk empat mata arah angin dengan di masing-masing penghujungnya membentuk seperti tato. Sedangkan tato motif Koita-Papua, dikhususkan pada perempuan. Desainnya menunjukkan beragam tahap usia perempuan. Tato pertama diberikan pada mereka yang berusia lima tahun dan yang terpenting adalah ketika perempuan mulai memasuki masa pernikahan. Tato yang dirajah mulai dari di sekitar payudara, atau pula motif rantai yang melingkar di belakang leher, menandakan perempuan telah memasuki masa tunangan dan hendak menikah. Suasana tato biasanya dilakukan dengan sangat hening.

Hampir semua tato yang saya gambarkan diatas, diletakkan diluar bagian tubuh, dengan tujuan agar semua orang paham dan sepakat dengan simbol-simbol yang telah dibuat bersama, baik itu berkenaan dengan identitas hingga status. Tato di Indonesia memang demikian beragam motifnya, karena Indonesia sendiri adalah Negara yang menyatukan berbagai etnisitas yang sebelumnya terpisah. Ini berbeda dengan Jepang sebagai sebuah Negara yang mempunyai etnis tunggal dengan motif tato yang tak sekaya Indonesia dan cenderung didominasi oleh ikan misalnya.

Pada tataran tato tradisional ini, tato bukanlah simbol kemerdekaan dan kebebasan tubuh, karena justru tubuh diletakkan sebagai perangkat yang menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan individu terhadap aturan-aturan yang disepakati dalam struktur masyarakat tersebut, sehingga tato dipahami maknanya secara komunal. Ini berbeda dengan tato modern dimana hanya tiap individu saja yang paham terhadap makna tatonya sendiri, sehingga dimaknai sebagai sebuah kemerdekaan tubuh sepenuhnya. Sedangkan tato postmodern adalah gabungan antara campuran tato yang mempunyai makna personal dan symbol-simbol tato yang juga dipahami secara komunal. Di ranah inilah kemudian muncul gerakan tato yang dimotori oleh folk tattooist seperti Durga[1] Sipatiti, Chay Siagian, dan Ade Itameda. Mereka merupakan bukti dari upaya orang-orang yang dibesarkan di jaman modern untuk mengungkapkan kembali tato tradisional masa lalu. Para aktivis tato ini menggabungkan antara seni tato tribal pada masyarakat dengan menggunakan teknologi mesin tato modern. Dengan melakukan ini para aktivis tato tribal telah merasa dirinya terpanggil oleh nenek moyang dan bukan karena tuntutan ekonomi semata-mata yang sering mendasari semua motif aktivitas masyarakat modern. Dengan demikian, orang-orang yang punya latar belakang demikian global dapat dikatakan justru mempunyai kesadaran postmodern untuk menghidupkan kembali tato-tato tradisional yang masih berurat akar pada diri dan nenek moyangnya sendiri.

Revivalisme Budaya, Kritik terhadap Modernitas

Sebelum periode reformasi di Indonesia, makna adat dan budaya diperlakukan secara negatif karena dilihat menghambat pembangunan; bertentangan dengan agama-agama misionaris. Adat dimaknai sebagai budaya daerah (regional culture) yang berada di wilayah pinggiran budaya Nasional. Adat telah kehilangan nilai sakralitasnya dan hanya dihubungkan dengan "seni", "custom" dan gereja atau agama Islam memandangnya sebagai kegiatan "pagan" yang menentang Tuhan. Sedangkan pemerintah menempatkan adat tak lebih sebagai bentuk pameran material yang dipertontonkan semata-mata kepada para wisatawan. Fenomena kebangkitan adat merupakan gejala yang baru terjadi belakangan ini dan menyebar dimana-mana, baik di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua hingga Jawa itu sendiri. Namun demikian, studi-studi tentang kebangkitan adat selama ini lebih terkonsentrasikan pada beberapa hal utama, yakni permasalahan tanah, pariwisata, krisis lingkungan, pertambangan dan taman nasional. Permasalahan kebangkitan adat belum menyentuh pada kajian bagaimana tubuh digunakan sebagai “simbol” terhadap protes modernitas dan pembangunan yang mengabaikan tradisionalitas.

Munculnya gerakan revivalisme adat dan budaya merupakan salah satu kritik terhadap modernitas dan pembangunan yang selama ini menderapkan dirinya pada kemajuan, dan hanya mencemaskan masa depan. Budaya dan adat yang dianggap masa lalu tidak dianggap merepresentasikan bagian dari modernitas. Sedangkan masa lalu disimpulkan bermuatan nilai-nilai otentik, penuh dengan rasa komunalitas, tatanan yang jelas dan keadilan. Modernitas yang penuh dengan persaingan antar agen-agen individu mensubordinasikan masyarakat adat yang komunal dan dianggap berjalan lamban. Munculnya kekuatan adat dan protes yang dilakukan terhadap modernitas dan pembangunan menjadikan gerakan adat dan protes-protesnya belakangan ini bersifat ideologis. (Di beberapa Negara di Amerika Latin misalnya Bolivia dan Equador, gerakan ini menjadi bersifat ideologis, karena disenyampangkan dengan gerakan sosialis). Melalui studi tubuh tato ini maka kita dapat menelusuri sejauh mana hak warga Negara (citizenship) selama masa pembangunan tereksklusi dan sejauh mana gerakan tato merupakan bagian dari ideologisasi gerakan revivalisme adat. Selain itu, sudah bukan jamannya lagi mengkriminalisasikan tubuh bertato, karena seiring dengan revivalisme budaya, pada masyarakat urban, tubuh bertato bisa dilihat sebagai bagian dari individualisasi ideologi para penggunanya, sedangkan di ranah pedalaman seperti Borneo dan Mentawai, tubuh bertato merupakan telah menjadi bagian dari kebangkitan hak-hak warga Negara minoritas yang terksklusi oleh pembangunan dan kepentingan agama-agama besar, dan hampir sama posisinya dengan penuntutan hak atas tanah adat, hingga hak atas hutan adat.

Tato neo tribal pada masyarakat urban dan juga kebangkitan tato tribal pada masyarakat pedalaman menunjukkan bahwa batas antara modernitas dan tradisionalitas serta batas antara masa depan dan masa lalu adalah bersifat kabur serta tumpang tindih. Kebangkitan tato tradisional menunjukkan inklusivitas masyarakat tato tradisional dengan membolehkan siapapun untuk ditato, meski orang tersebut bukanlah masyarakat pribumi. Tato tradisional menjadi inklusif, karena bisa di-copy paste tanpa harus meninggalkan berbagai ritual dan proses penatoan yang rumit, menyakitkan dan panjang. Fenomena ini terjadi di belahan dunia, misalkan seseorang dari Inggris, Amerika yang hendak melakukan proses penatoan Moko pada orang Maori di Selandia Baru, orang-orang Jakarta dan Jogja yang mengikuti penatoan di pada masyarakat Sumba atau Mentawai dan seterusnya. Mau tak mau, outsiders yang ditato harus paham tentang nenek moyang, adat istiadat, religi, kekerabatan, subjek yang didatangi, serta melakukan seremoni yang tak singkat. Berbeda dengan model “Yuppie” tato atau penaton neo-tribal di studio modern, melakukan hand poked, hand tapping, desainnya adalah lama, sedangkan mesinnya yang baru dan proses penatoan yang super kilat tanpa melakukan ritual terlebih dahulu. Sebagai misal, Iwan Djola, melaporkan bahwa Di Yogyakarta, banyak pemuda non Dayak yang kini meminta seorang Tatto artist memasang secara permanen Kelingai, Pasun Nyalak, Ketam Ngerayap, Tedong Beambai pada tubuhnya. Komodifikasi tato postmodern ini menunjukkan bahwa batas antara tradisional dan modern kemudian menjadi bertumpang tindih.

Kegemaran terhadap tato-tato pedalaman merupakan bagian dari keinginan masyarakat klas menengah urban yang belakangan ini merujuk pada berbagai tradisi pra Islam. Revivalisme ini tampak di berbagai ranah, seperti misal pada bentuk arsitektural kantor, universitas, pakaian adat sebagai seragam kantor hingga tato Mentawai. Istri sikerei, tetua agama Mentawai misalnya, juga harus ditato sebagai simbol status yang tinggi, dari rajah yang merembet hingga ke payudara menunjukkan bahwa bagian tubuh ini bukanlah sesuatu yang patut ditutupi sebagaimana konsep aurat dalam ajaran agama semitisme yang datang dari Timur Tengah. Sedangkan pada isu yang terkini, Atonk Tato, dari Jogja misalnya, mensimbolisasikan gerakan melawan Negara dengan cara membubuhkan tato gratis bertanda hobo logo kesultanan Jogjakarta setelah isu keistimewaan Jogja digugat oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meski Jogja tidak mempunyai tradisi tato tribal secara popular, namun Atonk yang juga berasal dari generasi modern menentang mode demokrasi yang ditawarkan Negara pusat kepada tradisi wilayah dimana ia berada yang dilihatnya telah menjalani kehidupan harmoni, seimbang dan tenang.

Tato kini semakin merambah pada masyarakat urban klas menengah atas. Persebaran yang luas ini menunjukkan bahwa tubuh dapat digunakan sebagai alat peraga komodifikasi. Masyarakat klas menengah urban mempunyai modal budaya dengan tidak hanya pada “apa yang harus dilakukan“, namun juga“bagaimana menunjukkan penampilan“.

Politik Identitas Tubuh Posmodern

Dengan Menggunakan kerangka Foucauldian, seperti dalam bukunya Discipline and Punish, saya percaya bahwa tubuh juga dapat langsung terlibat dalam bidang politik; investasi hubungan antar kekuasaan, karena di dalam tubuh mampu memancarkan tanda-tanda peranan dalam fungsi sosial kemasyarakatan. Proyek-proyek kolonialisas, modernitas dan pembangunan, di Asia dan Afrika menghadirkan tato sebagai sebuah praktik masyarakat primitif yang terkolonisasi[2]. Lebih lagi jika tubuh bertato, yang memproduksi makna tanda baik secara semantik maupun semiotik. Sebagai misal, pada abad ke empat di kerajaan Romawi, tato berguna menjadi penanda untuk mereka yang pernah terlibat dalam kegiatan kriminal dan masuk ke dalam penjara. Sedangkan tanda lainnya, dapat dipahami secara komunal dan kultural. Sebagai misal, jika seseorang di tato dengan tanda hewan tertentu di Mentawai, atau Iban misalnya, maka, dapat dipastikan bahwa semua orang di kawasan tersebut memahami simbol-simbol yang tertoreh dalam tubuh bertatonya. Tato menjadi tanda tubuh yang memberikan simbol asal-usul wilayah, profesi, status yang diketahui secara bersama pada komunitas tertentu.

Pada masyarakat tribal, secara komunal, tato mempunyai beberapa fungsi, antara lain seperti sebagai ritual. Tato juga berfungsi sebagai identifikasi seseorang bagian dari sebuah kelompok yang terberi, seperti kekerabatan, klan dan juga marga serta pembagian kerja/division of labour (Berburu, menyelam/mencari ikan, bermain Sape’, berladang, bertarung, menempa besi, termasuk mengayau) seperti pada tato Dayak Kayan. Ini berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat urban, ketika tato menjarah ranah masyarakat klas menengah dan menjadi bagian dari fashion, penatoan yang dilakukan secara individual di parlor-parlor modern, mengusung ide-ide makna dibalik tato secara individual. Tidak ada komunalitas masyarakat yang paham secara bersama-sama seperti pada kasus tato tradisional. Maka tato pada masyarakat urban lebih bersifat individualis, ekspresif dan lebih beragam. Ini menunjukkan bahwa tato modern mengalami semacam kekacauan antara penanda (benda yang memberikan tanda, seperti tato) dan tinanda (konsep pemikiran yang selalu member peluang untuk memunculkan ruang penafsiran), dimana antara tanda dalam tato, belum tentu benar-benar merujuk secara seragam pada apa yang ada dalam mental pemilik kebudayaan.

Proses komodifikasi tato modern tak lepas dari ditemukannya tato mesin elektrik yang beredar pada tahun 1870-1890, khususnya di Amerika. Tato mesin bukan hanya berguna mempercepat proses penatoan, tapi sekaligus mengurangi rasa sakit, memperkaya warna, dan bayangan tato. Ketika terjadi proses mekanisasi, proses penatoan yang singkat dan hilangnya sakit pada tubuh mengakibatkan menguapnya sakralisasi dan spiritualitas selama proses penatoan. Sedangkan meningkatnya masyarakat bertato neo-tribal di Indonesia merupakan bagian dari reaksi skeptisme posmodernitas terhadap berbagai komodifikasi modern, sekaligus merupakan kampanye-kampanye indigenisasi, determinasi diri dan otonomisasi hak-hak warga Negara yang selama ini memisahkan masyarakat tribal dari kesatuan Negara bangsa. Revivalisme tato neo tribal juga merupakan bagian dari keinginan masyarakat modern untuk kembali dekat dengan alam dan kehidupan sekitarnya, mengingat hampir semua motif tato tradisional mengacu pada binatang, tumbuhan, roh-roh yang dekat sekali dengan kehidupan mereka. Selain itu, analisis tubuh bertato yang selama ini didominasi oleh mode analisis subculture dan devian mulai berubah arah ke bentuk tato sebagai proses revivalisme kultural dan romantisasi budaya masa lalu yang dianggap ideal, tapi terlanjur hampir punah.

Revivalisme kultural dalam bentuk pencatatan motif tato sangatlah penting, mengingat warisan budaya ini tidak seperti teks di kertas yang dapat bertahan ratusan tahun dan direproduksi kembali melalui mesin cetak. Tato pada tubuh adalah seni yang berjalan sesuai dengan usia subjek, dan jika tidak diwariskan atau direproduksi, maka kepunahan tato tradisional, seperti tato Mentawai ini akan sudah di depan mata.

Dosen antropologi budaya, Universitas Brawijaya

Referensi:

Caplan , Jane, ‘Indelible memories’: the tattooed body as theatre of memory dalam Performing the Past Memory, History, and Identity in Modern Europe Karin Tilmans, Frank van Vree and Jay Winter (eds.) Amsterdam University Press

Davidson, Jamie S. and David Henley, The Revival of Tradition in Indonesian Politics The deployment of adat from colonialism to indigenism, Routledge, 2007.

Djola, Iwan, “Tatto, identifikasi identitas, dan nasionalisme“. Beringin Soekarno, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 17 Oktober 2010 yang diselenggarakan oleh IMPULSE. (Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies)

Fisher, Jill A, Tattooing the Body, Marking Culture, Body & Society © 2002 SAGE Publications (London, Thousand Oaks and New Delhi), Vol. 8(4): 91–107

Foucault, Michel (1975). Discipline and Punish: the Birth of the Prison, New York: Random House.

Handoko, A “Tato, Simbol Diri Orang Dayak Iban” dalam Kompas, 8 Oktober, 2011.

Kadir, Hatib Abdul, Tato, LKiS, 2006



[1] Durga adalah seorang seniman yang pernah belajar di Fakultas Seni Rupa program studi Desain Komunikasi Visual di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogkarta. Namun kini ia beralih ke seni tato setelah menetap di Los Angeles (LA), Amerika Serikat, antara tahun 2006—2008. Di LA ia terpilih menjadi murid program Tattoo Apprenticeship, berguru dan bekerja untuk Black Wave tattoo studio di LA, tiap hari bekerja di bawah bimbingan Sua Sulu’ape Freewind. Ia adalah seorang ahli tato ternama dan sangat dihormati karena memelihara tradisi tatau (tehnik tato tradisional Tahiti, Samoa, Polinesia). Sedangkan sang guru sendiri pernah tinggal di Polinesia dan kerap berkunjung ke suku Dayak Iban di Serawak, Kalimantan.

[2] Secara kebahasaan bahwa kata “tattoo” di temukan oleh James Cook pengelana Inggris, dalam memoirnya di pada tahun 1769. Kata ini kemudian diperkenalkan pada masyarakat kulit putih dan menyebar luas. Kata-kata yang didapat dari Negara-negara terkoloni digunakan karena masyarakat kolonial tidak mempunyai kosakata aslinya, misalnya tato, latah dan amok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar