DINAMIKA TATTOO ETNIK DAYAK DAN KONTRIBUSI‐NYA BAGI WARISAN BUDAYA DUNIA
Oleh Durga (Durga Tattoo) – Yogyakarta, 21 Oktober 2011
halaman 1
Istilah nama Dayak adalah diciptakan sebagai sebutan untuk menggabungkan ratusan suku‐suku dan bermacam sub suku yang mendiami Borneo. Suku‐suku dan sub suku Dayak yang memiliki tradisi tato, menggunakannya untuk mendefinisikan identitas mereka sekaligus juga dipakai sebagai pengikat sebuah hubungan spiritual dengan adat.
Meskipun terjadi perubahan yang sangat besar seiring berjalannya waktu dalam tatanan kehidupan modern di kehidupan urban dan pengaruhnya yang besar pada tatanan kehidupan suku Dayak, masih ada rasa dan kebutuhan mendalam untuk menjadi bagian dari budaya dan adat istiadat Dayak.
Ketika seorang laki‐laki dan perempuan Dayak telah mencapai masa akil balik, ritus perjalanan hidup sering diabadikan atau ditandai melalui tato pada bagian tubuh tertentu. Pencapaian peringkat tertentu, profesi tertentu atau status social mereka, prestasi atau pengalaman hidup tertentu, penguasaan skill tertentu sering diperingati melalui tato.1 Fungsi sebagai jimat untuk memberikan perlindungan dari penyakit, bala, sihir, ancaman musuh ataupun kemalangan juga dapat ditandai melalui tato. Para pria yang bertato untuk menunjukkan keberanian, kepahlawanan, perjalanan atau perantauan, bahkan juga sebagai tropi dan catatan pribadi seberapa banyak nyawa atau kepala yang telah mereka ambil dalam pengayauan atau peperangan.
Elemen‐elemen atau symbol‐simbol yang berasal dari alam dan lingkungan hidup serta bentuk‐bentuk visual yang diambil atau berakar pada agama dan kepercayaan sukusuku Dayak selalu menjadi sumber dari bentuk‐bentuk design dan motif ataupun pola tato‐tato Dayak.
Teknik pembuatan tato Dayak yang secara Internasional disebut dengan teknik tato hand‐taping, tekanan jarum tato dengan cara diketuk merupakan teknik asli dan populer selain teknik yang sama ini juga dipergunakan oleh suku‐suku lain di Nusantara ataupun di wilayah Asia Tenggara dan laut Pasifik.
Untuk tradisi tato tradisional dayak, digunakan alat‐alat yang dikenal dengan istilah: Ulang/Lutedak, Tukul Tedak, Klinge dan Bungan Tedak. Ulang/Lutedak adalah tongkat tato yang sering terbuat dari kayu Ulin divariasikan dengan material dari tanduk rusa atau tanduk kerbau dimana jarumnya yang dulu dipakai dari duri pohon jeruk, dipasang pada bagian ujung. Tukul Tedak adalah tongkat dari kayu Ulin yang digunakan sebagai pemukul Ulang/Lutedak. Design atau motif atau pola tato diukir pada sebilah kayu Belian sebagai stempel yang dikenal dengan istilah Klinge, ditempelkan pada bagian tubuh yang akan ditato, kemudian dilaksanakan proses tato dengan teknik handtapping ini. Tinta tato Dayak dulunya dibuat dari bahan‐bahan natural yaitu jelaga arang Damar sebagai pigmen warna hitam dan dicampur dengan air tebu yang kemudian ditempatkan pada sebuah cawan atau mangkuk kecil yang biasanya dulu terbuat dari kayu Ulin atau kayu Belian yang disebut dengan Bungan Tedak.
Suku‐suku Dayak percaya bahwa dengan pigment terhitam yang mereka rajah di tubuh mereka dan semakin banyak tato di tubuh mereka, akan bersinar terang membimbing
1 Lora S. Irish, Modern Tribal Tattoo Designs. 2009 – Fox Chapel Publishing Company, Inc. USA.
halaman 2
mereka dengan aman menuju rumah leluhur mereka di alam surga yang dikenal dengan Apo Kesio.
Namun ada banyak misteri dan pertanyaan yang masih belum bisa terkuak oleh banyak pihak seperti para antropolog, etnolog atau peneliti lain ataupun oleh para peminat dan pengamat seni tato Dayak, dikarenakan tradisi tato dari banyak suku‐suku dan sub‐suku Dayak hampir punah dan kurangnya catatan sejarah atau dokumen tertulis dan yang tergambar.
Sebelum memasuki era pertengahan abad 19, Borneo hampir belum dikenal sampai ke dunia barat hingga setelah diterbitkannya buku yang menjadi salah satu catatan atau dokumen tertulis pertama yang pernah ada tentang suku‐suku Dayak menjelang akhir abad ke 19. Hingga pada akhirnya, “The Pagan Tribes of Borneo” karangan Charles Hose dan William MacDougall yang merupakan dokumen tertulis klasik mengenai kehidupan tradisional dan adat istiadat suku‐suku Dayak yang diterbitkan pada tahun 1912, setelah sebelumnya pada tahun 1906, Charles Hose dan Robert Walter Campbell Shellford3 yang melakukan kunjungan dan risetnya di Borneo dan mengumpulkan banyak informasi termasuk kumpulan design, motif atau pola‐pola tato Dayak yang mereka gambar kembali dalam catatannya yang diberi judul “Materials for Study of Tatu in Borneo”.
Namun sebelum ketiga peneliti berkebangsaan Inggris tersebut melakukan risetnya di Borneo, Dr. Anton Willem Nieuwenhuis berkebangsaan Belanda telah 3 kali melakukan ekspedisi extensivnya ke Borneo sejak tahun 1893 hingga 1900. Dialah orang barat pertama yang berhasil menembus dan menjelajah Borneo dari sisi barat hingga sisi timur, dan dari penjelajahannya di Borneo ia membuat 2 buah buku yang tidak dipublikasikan secara besar‐besaran yang berjudul “In Centraal Borneo ‐ Reis van Pontianak naar Samarinda” pada tahun 1900 dan “Quer Durch Borneo”, catatan tentang perjalanannya di tahun 1894, 1896‐1897 dan 1898‐1900.
Buku‐buku diatas, catatan‐catatan tertulis dan bergambar diatas hingga kini selalu masih dipergunakan sebagai bahan referensi dan masuk list bibliografi buku‐buku tato yang membahas mengenai tato suku‐suku Dayak.
Masa suram dan sisi pahit yang terjadi pada budaya dan tradisi tato suku‐suku Dayak yang dimulai sejak era imperialisme di masa lampau, misionaris, masuknya agama-agama dari kebudayaan asing, pemerintahan era kolonial hingga pemerintahan paska kemerdekaan Indonesia telah menghancurkan, melarang dan menghilangkan tradisi
tato Dayak.
Salah satu komentar yang memperkuat cerita mengenai masa pahitnya budaya dan tradisi tato suku‐suku Dayak misalnya dari seorang tattoo artist lawas legendaris Belanda bernama Henk “Hanky Panky” Schiffmacher tercatat dan dipublikasikan dalam sebuah buku tato dan bentuk‐bentuk body modification dalam perkembangan dan kehidupan kontemporer dan ritualnya yaitu berjudul “Modern Primitives”; “When the Dutch left Indonesia in the fifties, the new government said, “All right, no more of that spirit religion here. We want you to become either Muslims or Christians‐no other religion anymore. We’re going t become a modern society.” And how do you become a
2 Steve Gilbert, Tattoo History – A Source Book. 2000 – Juno Books, LLC. USA.
3 Steve Gilbert, Tattoo History – A Source Book. 2000 – Juno Books, LLC. USA.
halaman 3
modern society‐wearing western clothes even though it’s hot as hell, and building skycrapers?4
Ketika jaman semakin berubah dan tatanan kehidupan moderen yang dibakukan di semua lapisan masyarakat dibentuk secara sistematis. Ketika orang suku‐suku Dayak dari generasi yang berbeda mulai terpengaruh mind‐set yang sengaja tercipta, bahwa tato Dayak ataupun telinga panjang dan pakaian adat adalah keterbelakangan. Ketika
sudah terlalu massive masuknya banyak budaya lain dan populasi lain akibat kemajuan teknologi dan explorasi bahkan exploitasi hasil alam di Borneo.
Ketika tato Tribal mulai menjadi trend di awal 80an, kekaguman publik terhadap bentuk‐bentuk visual atau pola‐pola hitam yang tebal membuatnya memiliki pesona tersendiri dan berbeda dengan gaya atau aliran tato lainnya seperti traditional American tattoo dengan design jangkar atau jantungnya, ataupun aliran realistic tattoo
baik itu yang black and grey ataupun colorful, yang pada saat itu sangat populer di Amerika dan Eropa.5
Tato Tribal yang merupakan sebuah istilah mendunia hingga hari ini bisa dikatakan tetap terus mengalami masa kebangkitan dan menjadi bagian dari sebuah trend dalam dunia Tato, sejalan publik dunia di tatanan kehidupan modern memberikan perhatian cukup besar dan ingin menjadi bagian dari budaya dan tradisi tato Dayak yang
mengalami dinamika pasang surutnya serta menjadi salah satu tradisi tato etnik yang sangat terkenal seantero dunia.
Borneo telah menarik sejumlah antropolog, etnolog dan peneliti asing lainnya untuk mengunjungi Borneo dan melakukan riset dan pencatatan kebudayaan dan adat istiadat suku‐suku Dayak sejak abad ke 19, banyak tattoo artist dunia dari berbagai negara yang tertarik dan berperan dalam memperkenalkan design, motif atau pola tato‐tato Dayak melalui karya‐karya tato mereka pada tubuh publik di luar negeri sana menurut catatan dan dokumen yang ada telah dimulai sejak awal era 80an.
Dirangsang oleh berbagai apresiasi baru, permintaan atas minat dan pengetahuan akan seni dan budaya, orang‐orang dari segenap wilayah Pasifik, Asia hingga Afrika, Eropa dan Amerika mencoba memulihkan dan menghidupkan kembali seni tradisional mereka yang hampir hilang, termotivasi dan dibantu oleh banyak pihak yang tertarik pada praktek dan warisan budaya, khususnya tradisi tato tradisional. Kebangkitan tato Dayak sebagai salah satu budaya tato tertua dan asset penting bagi warisan tradisi tato dan budaya dunia sekali lagi telah banyak memberikan manusia modern dari berbagai pelosok di bumi ini identitas individualnya masing‐masing. Sama seperti pada masa lalu suku‐suku Dayak dan leluhur suku‐suku Dayak, manusia modern menggunakan design atau motif atau pola tato Dayak untuk mendefinisikan pencapaian sebuah masa atau prestasi atau pengalaman hidup tertentu, apresiasi masing‐masing individu dan ide‐ide spiritual, untuk menyatukan manusia modern dengan alam yang telah amat jauh berbeda secara general seiring perkembangan lingkungan sekitar yang telah berubah drastis akibat kemajuan teknologi dan kehidupan global serta secara bersamaan merupakan sebuah konsep identitas dan individualitas personal tertentu yang membedakannya dengan personal lain atau komunitas lain.
Bila kita cermati terkadang bisa ditemukan penggunaan design atau motif atau pola tato Dayak yang diaplikasikan kurang tepat. Apakah itu misalnya design yang seharusnya untuk laki‐laki tapi dibuat pada tubuh wanita atau sebaliknya, ataupun beberapa
4 V. Vale and Andrea Juno, Modern Primitives – An Investigation of Contemporary Adornment & Ritual. 1989 – RE/Search Publications. San Francisco, California, USA.
5 Judith Levin. Tattoos And Indigenous Peoples. 2009 – Rosen Publishing. New York, USA.
halaman 4
kesalahan penggunaan ataupun pembuatan yang dibuat di wilayah negeri ini atau di luar negeri. Kenyataan bahwa ketertarikan akan tato Dayak telah mewabah pada manusia modern termasuk banyak tattoo artist di Negara‐negara maju sejak tahun 80an menunjukkan terjadi cross‐culture dengan muatan arti penting atau makna budayanya
yang sedikit atau banyak, merupakan salah satu transformasi dan penyebaran informasi tentang budaya seni tato Dayak. Proses cross‐culture terhadap seni tato Dayak ini memiliki potensi yang bila dicermati secara seksama akan dapat diketahui seberapa besar tertarik tidaknya manusia modern akan design, motif atau pola tato tertentu, yang
setidaknya kemudian besar design atau motif atau pola tato tersebut akan mereka adopsi ataupun mereka sesuaikan, bukan diabaikan, terlupakan dan tersia‐sia.6
Kenyataan bahwa tradisi tato Dayak telah lama ditinggalkan akibat banyak alasan dan penyebab seperti yang telah dijabarkan diatas dan kurangnya ketertarikan terhadap tato tradisionalnya dari anggota suku‐suku dan sub suku atau orang asli Dayak maupun juga pada orang‐orang dari suku‐suku lain yang memili tradisi tato di muka bumi ini
diperkuat juga oleh pendapat atas pengalaman pribadi Henk “Hanky Panky” Schiffmacher dan Leo Zulueta. Hanky Panky: “I have my tools (tattoo equipments) with me, and what they want you to make is like our stuff; they don’t want traditional designs. I’ll make modern designs for them; you can’t blame them.”
Leo Zulueta: “A funny thing happened when I went to Mike Malone’s studio (almarhum Mike Malone adalah salah satu tattoo artist terbesar dalam sejarah perkembangan American traditional tattoo scene) in Hawaii, right after I’d gotten my large Micronesian (gugusan kepulauan di Pasifik) back piece tattoo (which done by Don Ed Hardy). Three older tattooed Micronesians came into the shop and I talked to them for awhile, and then told them, “Hey, I’ve got a really neat Micronesian‐style tattoo on my back” and whipped off my shirt. Two of them were yawning and turning the other way before I even had my shirt back on‐they were far more interested in the colored American eagles and naked lady designs on the walls!”
Jika dicermati apa yang semua telah diulas diatas, banyak pihak dari luar negeri sudah sejak akhir abad 19 telah tertarik pada budaya tato Dayak dan fakta‐fakta tersebut sudah membuktikan bahwa betapa pentingnya arti dan positioning tato Dayak memberikan kontribusi yang teramat besar bagi warisan Budaya Dunia.
Terlepas dari sisi negatif selain bukan hanya sisi positif dari masuknya banyak peneliti dan ekspedisi budaya ke suku‐suku Dayak di Borneo, ada baiknya kita selalu melihatnya dari sudut pandang positif.
Bagi kita yang di tanah air, kontribusi positif yang nyata dari berbagai pihak secara kelompok atau personal dari berbagai bidang ilmu untuk prose’s pembelajaran kembali dan perkembangan tato Dayak tidak hanya diharapkan dating dari para peneliti antropologi, etnologi dan sejarah, para tattoo artist dan publik yang ditatonya, melainkan juga dari mereka dari bidang fotografi atau video, media cetak, bidang ilmu kerajinan, misalnya untuk membuat kembali “Klinge” (stempel pahatan design/motif/pola tato pada kayu) atau perlengkapan‐perlengkapan tato Dayak lainnya.
Kontribusi yang bisa diberikan oleh bidang ilmu seni tato oleh seorang tattoo artist misalnya mengumpulkan dan menggambar ulang kembali design, motif atau pola tato-tato Dayak, mengaplikasikan design/motif/pola tersebut dan melestarikannya pada medium aslinya, yaitu kulit manusia.
6 Nicholas Thomas, Anna Cole and Bronwen Douglas, Tattoo – Bodies, Art, And Exchange In The Pacific And The West. 2005 – Reaktion Books Ltd. Durham, UK.
halaman 5
Semakin banyak individu secara personal membebaskan diri atas kontrol cara pikir dan ekspresi diri, dalam hal ini tubuh secara visual yang berhubungan dengan body modification, walaupun sering hak asasi mendasar ini sering dibungkam atau ditekan oleh nilai‐nilai ataupun tatanan yang diciptakan oleh kepentingan politik ataupun agama, semakin besar kemungkinan positif bagi tradisi tato Dayak kembali dibangkitkan dan dilestarikan.7
Beberapa contoh tokoh lintas budaya dari berbagai bidang keilmuan yang tertarik terhadap seni tato Dayak dan memberikan kontribusi yang besar, misalnya:
Charles Hose, seorang etnolog, zoologist (ahli ilmu hewan) sekaligus pegawai pemerintah kolonial Inggris yang bersama dengan‐dan dibantu oleh William MacDougall, seorang psikolog Inggris yang pada tahun 1912 menerbitkan catatan dan dokumen tertulis dan gambar tentang kehidupan tradisional, adat istiadat dan design, motif, pola tato suku‐suku Dayak, dan membukukannya dengan judul “The Pagan Tribes of Borneo”. Sebelumnya, Charles Hose bersama dengan‐dan dibantu oleh Robert Shelford, seorang entomologist (ahli ilmu serangga) dan pegawai museum kebangsaan Inggris, mengumpulkan dan menggambar design, motif, pola tato Dayak Kayan dan Dayak Kenyah dalam catatannya yang berjudul “ Materials for a Study of Tatu in Borneo” pada tahun 1906.
Leo Zulueta, dikenal sedunia sebagai bapak Neo tribal Tattoo sejak masa lahir dan berkembangnya aliran Neo Tribal di era 80an. Karya‐karya tatonya di masa itu yang berbasis pada design‐design tato tradisional Polinesia, Micronesia dan Borneo ! menjadi inspirasi sedunia menjadi salah satu contoh sebuah pelestarian dan perkembangan tradisi seni tato tradisional berikut design‐designnya.
Leo Zulueta adalah salah satu dari banyak tattoo artist barat yang tertarik menggunakan motif‐motif tato Dayak sekaligus juga mengolahnya hingga kemudian tercipta sebuah aliran baru dalam dunia tato yang kita kenal sebagai Neo‐Tribal. Semakin terkenal semenjak muncul dalam buku “Modern Primitives”, bahkan dia tidak
mengangap dirinya sebagai orang yang patut dijadikan sebagai inspirasi dunia dalam perkembangan tato tribal. Karya‐karyanya mengacu pada penelitian design tato tradisional sebagai pelestarian tradisi dan estetika. Dia pernah mengungkapkan, “semua orang tua yang memiliki tato motif‐motif sukunya telah meninggal… Orang terakhir
yang memiliki tattoo pada punggungnya sama seperti yang ada pada punggung saya, yang berumur lebih dari Sembilan puluh tahun, telah meninggal beberapa tahun lalu.
Oleh karenanya dapat jelas diterangkan mengapa saya benar‐benar merasa bersemangat untuk melestarikan design‐design tato tua tersebut”.8
Leo Zulueta yang keturunan Filipina, sempat dibesarkan di Hawaii dan berkewarganegaraan Amerika Serikat, adalah sebuah contoh yang dapat menunjukkan bahwa adalah cukup kompleks dan fariatif untuk menerangkan bagaimana seorang tattoo artist termotivasi dalam proses panjang penciptaan karya tato tribal‐nya. Kecenderungan yang seringkali terlihat adalah dikarenakan biografi pribadi lintas budayanya daripada dikarenakan pengalaman hidup mono‐dimensional.9
7 Rufus C. Camphausen, Return Of The Tribal – A Celebration Of Body Adornment. 1997 – Park Street Press. Vermont, USA.
8 V. Vale and Andrea Juno, Modern Primitives – An Investigation of Contemporary Adornment & Ritual. 1989 – RE/Search Publications. San Francisco, California, USA.
9 Nicholas Thomas, Anna Cole and Bronwen Douglas, Tattoo – Bodies, Art, And Exchange In The Pacific And The West. 2005 – Reaktion Books Ltd. Durham, UK.
halaman 6
Henk “Hanky Panky” Schiffmacher, seorang tattoo artist legendaris asal Belanda dan pemilik museum tato di Amsterdam yang dulu selalu berpetualang ke semua tempat yang memiliki tradisi tato suku‐suku asli, termasuk diantaranya pada tahun 1985 ke Indonesia yaitu ke Borneo & Mentawai. Di eranya pada awal 80an, ia cukup banyak
membuat tato motif Borneo dan kadang dipadukannya dengan motif Viking, Samoa ataupun Maori. Anthony Kiedis, seorang penyanyi sebuah band Amerika bernama Red Hot Chilli Peppers pernah diajak bersamanya mengunjungi Borneo pada tahun 1985.
Chris Wroblewski, seorang fotografer dan penulis buku tato terkemuka asal Inggris telah mengunjungi Borneo dan mengabadikan riset fotografi tentang suku Dayak Iban dan tatonya pada tahun 1983, tapi baru pada tahun 2004 mendapatkan kesempatan untuk menerbitkan bukunya yang berjudul Skin Shows – The Tattoo Bible yang
mempublikasikan hasil jepretan fotonya tentang Dayak Iban dan tatonya dalam 1 bab tersendiri.
Tom Lockhart, seorang tattoo artist Canada dan Vince Hemingson, seorang penulis dan ahli sejarah tato melakukan ekspedisi ke Borneo pada tahun 1987 dengan dibantu oleh Edi “Borneo Ink”dan mengabadikan perjalanan mereka dalam film dokumenter mereka berjudul “The Vanishing Tattoo” yang baru dipublikasikan tahun 2003.
Lars Krutak, seorang antropolog tato terkenal kebangsaan Amerika Serikat yangbmasih selalu melakukan ekspedisi budaya tato dan body modification lainnya di di banyak suku‐suku di bebagai penjuru dunia. Karya‐karya penelitian dan ekspedisinya bisa kita nikmati hingga kini di salah satu bukunya yang juga mengupas tentang tato‐tato Dayak yang berjudul “Tattooing Arts of Tribal Women” yang dipublikasikan tahun 2007 dan beberapa video dokumenter yang disiarkan oleh saluran berbagai liputan dan video dokumenter di Discovery Channel ataupun National Geographic.
Jeroen Franken, seorang tattoo artist Belanda yang sampai kini tetap kadang membuat tato‐tato Dayak. Ia pernah berkunjung ke perkampungan Dayak Iban dan membuat sebuah buku reportase perjalanannya dengan judul “Pantang Iban”.
Tattoo‐tattoo artist lain yang turut menggali, membuat kembali, mengenalkannya pada publik dunia, melestarikan design/pola/motif tato Dayak pada medium aslinya yaitu kulit manusia, seperti Ernesto Kalum dari Borneo Headhunter, Jeremy Lo & Boy Skrang dari Monkey Tattoo, Herpianto Folk Hendra & Erzane Folk Aksentrik dari Folkspace Tattoo, dll.
Catatan bibliografi:
• V. Vale and Andrea Juno, Modern Primitives – An Investigation of Contemporary Adornment & Ritual. 1989 – RE/Search Publications. San Francisco, California, USA.
• Chris Wroblewski, Skin Shows – The Tattoo Bible. 2004 – Cameron House. Wingfield, Australia.
• Rufus C. Camphausen, Return Of The Tribal – A Celebration Of Body Adornment. 1997 – Park Street Press. Vermont, USA.
• Lora S. Irish, Modern Tribal Tattoo Designs. 2009 – Fox Chapel Publishing Company, Inc.
USA.
• Judith Levin, Tattoos And Indigenous Peoples. 2009 – Rosen Publishing. New York, USA.
• Nicholas Thomas, Anna Cole and Bronwen Douglas, Tattoo – Bodies, Art, And Exchange In The Pacific And The West. 2005 – Reaktion Books Ltd. Durham, UK.
• Steve Gilbert, Tattoo History – A Source Book. 2000 – Juno Books, LLC. USA.
• Henk Schiffmacher, Ronald Timmermans & Almar Seinen, Henk Schiffmacher. 2007 – d’jonge Hond Publishers. Harderwijk, The Netherlands.
halaman 7
• Chris Wroblewski, Tattoo – Pigments of Imagination. 1987 – Alfred van der Marck Editions. New York, USA.
• Chris Rainer, Ancient Marks – The Sacred Origins of Tattoo and Body Marking. 2004 – Earth Aware Editions. California, USA.
• Lawrence Blair & Lorne Blair, Ring of Fire ‐ An Indonesian Odyssey. 1991‐Thames & Hudson. London, UK.
• Pierre Pfeffer, Biwak auf Borneo. 1965‐Schwabenverlag. Stuttgart, Germany.
• Henk Schiffmacher the Original Hanky Panky, Encyclopedia for the Art and History of Tattooing. 2010 – Uitgeverij Carrera, an imprint of Dutch Media Uitgevers BV. Amsterdam, The Netherlands.
• Maarten Hesselt van Dinter, Tribal Tattoo from Indonesia. 2007‐Mundurucu Publishers. The Netherlands.
• Joergen Bisch, Ulu‐The World’s End. 1961‐George Allen & Unwin Ltd. London, UK.
• N. A. Douwes Dekker, Tanah Air Kita. 1951 – W. van Hoeve Gravenhage, Den Haag, The Netherlands
http://www.facebook.com/notes/aman-durga-sipatiti/dinamika-tattoo-etnik-dayak-dan-kontribusinya-bagi-warisan-budaya-dunia/10150368006814586#!/notes/lembaga-studi-dayak/dinamika-tattoo-etnik-dayak-dan-kontribusinya-bagi-warisan-budaya-dunia/1608833036036
Tidak ada komentar:
Posting Komentar