Ternyata sulit bagi kita untuk mendeskripsi ‘Mandau’. Sama halnya seperti ‘Katana’ (pedang tradisional Jepang), mandau menjadi istilah umum untuk senjata tajam bangsa Dayak (Fridolin Ukur, 1972) dulunya. Bahkan Dr. A. Neuwenhuis seorang Botani Belanda sering menyebutkan kata ‘mandau’ dalam resumenya. Seiring waktu kemudian istilah mandau direduksi ke dalam berbagai pengklasifikasian dari masing-masing etnik (bangsa) Dayak. Sejak migrasi pertama kebudayaan Dongson masa Tersier -60 juta tahun yang lalu (H.TH. Fisher, 1991) dari jaman Neozoikum (Geologi), manusia mulai beranjak menuju kehidupan baru yakni berburu dan meramu (food & gathering). Walaupun ‘migrasi’ ini masih menjadi perdebatan, namun yang pasti ‘kebudayaan’ tidak berdiri dengan sendirinya, demikian juga item-item yang terkandung di dalamnya.
Diperkirakan ‘mandau’ dan senjata tradisional lainnya sudah dibuat sejak jaman logam dari masa ke-4 setelah Neolithikum (Charles Hose dan Willian McDougal, 1912). Oleh sebab itu banyak sumber mengatakan jika ‘mandau’ yang asli terbuat dari logam atau batu gunung (kemungkinan besi hitam). Sederhananya istilah mandau saat ini merujuk pada bentuk dan bahan yang digunakan, walaupun sekarang mandau dapat dibuat dari berbagai jenis logam seperti besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Dengan sendirinya kita dapat mengklasifikasikan ‘mandau’ menurut lingkup kultural masing-masing daerah, meskipun rancu bagi kita jika harus mengatakan mana yang asli dan tidak, karena memang tidak ada kriteria dalam hal itu. Asli atau tidak, tergantung dari asumsi umum di setiap daerah.
Makalah ini disampaikan oleh Aman Durga Sipatiti (Durga Tatto) selaku pembicara diskusi tato dengan tema: "Dinamika Tattoo Etnik Dayak dan Kontribusinya Bagi Warisan Budaya Dunia" pada event Pesta Seni & Budaya Dayak Se-Kalimantan IX di Yogyakarta (Festival of Art & Culture of Dayak Borneo) - Jumat, 21 October 2011 di Taman Budaya, Yogyakarta-Indonesia
DINAMIKA TATTOO ETNIK DAYAK DAN KONTRIBUSI‐NYA BAGI WARISAN BUDAYA DUNIA
Oleh Durga (Durga Tattoo) – Yogyakarta, 21 Oktober 2011
halaman 1
Istilah nama Dayak adalah diciptakan sebagai sebutan untuk menggabungkan ratusan suku‐suku dan bermacam sub suku yang mendiami Borneo. Suku‐suku dan sub suku Dayak yang memiliki tradisi tato, menggunakannya untuk mendefinisikan identitas mereka sekaligus juga dipakai sebagai pengikat sebuah hubungan spiritual dengan adat.
Meskipun terjadi perubahan yang sangat besar seiring berjalannya waktu dalam tatanan kehidupan modern di kehidupan urban dan pengaruhnya yang besar pada tatanan kehidupan suku Dayak, masih ada rasa dan kebutuhan mendalam untuk menjadi bagian dari budaya dan adat istiadat Dayak.
Ketika seorang laki‐laki dan perempuan Dayak telah mencapai masa akil balik, ritus perjalanan hidup sering diabadikan atau ditandai melalui tato pada bagian tubuh tertentu. Pencapaian peringkat tertentu, profesi tertentu atau status social mereka, prestasi atau pengalaman hidup tertentu, penguasaan skill tertentu sering diperingati melalui tato.1 Fungsi sebagai jimat untuk memberikan perlindungan dari penyakit, bala, sihir, ancaman musuh ataupun kemalangan juga dapat ditandai melalui tato. Para pria yang bertato untuk menunjukkan keberanian, kepahlawanan, perjalanan atau perantauan, bahkan juga sebagai tropi dan catatan pribadi seberapa banyak nyawa atau kepala yang telah mereka ambil dalam pengayauan atau peperangan.
Elemen‐elemen atau symbol‐simbol yang berasal dari alam dan lingkungan hidup serta bentuk‐bentuk visual yang diambil atau berakar pada agama dan kepercayaan sukusuku Dayak selalu menjadi sumber dari bentuk‐bentuk design dan motif ataupun pola tato‐tato Dayak.
Teknik pembuatan tato Dayak yang secara Internasional disebut dengan teknik tato hand‐taping, tekanan jarum tato dengan cara diketuk merupakan teknik asli dan populer selain teknik yang sama ini juga dipergunakan oleh suku‐suku lain di Nusantara ataupun di wilayah Asia Tenggara dan laut Pasifik.
Untuk tradisi tato tradisional dayak, digunakan alat‐alat yang dikenal dengan istilah: Ulang/Lutedak, Tukul Tedak, Klinge dan Bungan Tedak. Ulang/Lutedak adalah tongkat tato yang sering terbuat dari kayu Ulin divariasikan dengan material dari tanduk rusa atau tanduk kerbau dimana jarumnya yang dulu dipakai dari duri pohon jeruk, dipasang pada bagian ujung. Tukul Tedak adalah tongkat dari kayu Ulin yang digunakan sebagai pemukul Ulang/Lutedak. Design atau motif atau pola tato diukir pada sebilah kayu Belian sebagai stempel yang dikenal dengan istilah Klinge, ditempelkan pada bagian tubuh yang akan ditato, kemudian dilaksanakan proses tato dengan teknik handtapping ini. Tinta tato Dayak dulunya dibuat dari bahan‐bahan natural yaitu jelaga arang Damar sebagai pigmen warna hitam dan dicampur dengan air tebu yang kemudian ditempatkan pada sebuah cawan atau mangkuk kecil yang biasanya dulu terbuat dari kayu Ulin atau kayu Belian yang disebut dengan Bungan Tedak.
Suku‐suku Dayak percaya bahwa dengan pigment terhitam yang mereka rajah di tubuh mereka dan semakin banyak tato di tubuh mereka, akan bersinar terang membimbing
1 Lora S. Irish, Modern Tribal Tattoo Designs. 2009 – Fox Chapel Publishing Company, Inc. USA.
halaman 2
mereka dengan aman menuju rumah leluhur mereka di alam surga yang dikenal dengan Apo Kesio.
Namun ada banyak misteri dan pertanyaan yang masih belum bisa terkuak oleh banyak pihak seperti para antropolog, etnolog atau peneliti lain ataupun oleh para peminat dan pengamat seni tato Dayak, dikarenakan tradisi tato dari banyak suku‐suku dan sub‐suku Dayak hampir punah dan kurangnya catatan sejarah atau dokumen tertulis dan yang tergambar.
Sebelum memasuki era pertengahan abad 19, Borneo hampir belum dikenal sampai ke dunia barat hingga setelah diterbitkannya buku yang menjadi salah satu catatan atau dokumen tertulis pertama yang pernah ada tentang suku‐suku Dayak menjelang akhir abad ke 19. Hingga pada akhirnya, “The Pagan Tribes of Borneo” karangan Charles Hose dan William MacDougall yang merupakan dokumen tertulis klasik mengenai kehidupan tradisional dan adat istiadat suku‐suku Dayak yang diterbitkan pada tahun 1912, setelah sebelumnya pada tahun 1906, Charles Hose dan Robert Walter Campbell Shellford3 yang melakukan kunjungan dan risetnya di Borneo dan mengumpulkan banyak informasi termasuk kumpulan design, motif atau pola‐pola tato Dayak yang mereka gambar kembali dalam catatannya yang diberi judul “Materials for Study of Tatu in Borneo”.
Namun sebelum ketiga peneliti berkebangsaan Inggris tersebut melakukan risetnya di Borneo, Dr. Anton Willem Nieuwenhuis berkebangsaan Belanda telah 3 kali melakukan ekspedisi extensivnya ke Borneo sejak tahun 1893 hingga 1900. Dialah orang barat pertama yang berhasil menembus dan menjelajah Borneo dari sisi barat hingga sisi timur, dan dari penjelajahannya di Borneo ia membuat 2 buah buku yang tidak dipublikasikan secara besar‐besaran yang berjudul “In Centraal Borneo ‐ Reis van Pontianak naar Samarinda” pada tahun 1900 dan “Quer Durch Borneo”, catatan tentang perjalanannya di tahun 1894, 1896‐1897 dan 1898‐1900.
Buku‐buku diatas, catatan‐catatan tertulis dan bergambar diatas hingga kini selalu masih dipergunakan sebagai bahan referensi dan masuk list bibliografi buku‐buku tato yang membahas mengenai tato suku‐suku Dayak.
Masa suram dan sisi pahit yang terjadi pada budaya dan tradisi tato suku‐suku Dayak yang dimulai sejak era imperialisme di masa lampau, misionaris, masuknya agama-agama dari kebudayaan asing, pemerintahan era kolonial hingga pemerintahan paska kemerdekaan Indonesia telah menghancurkan, melarang dan menghilangkan tradisi
tato Dayak.
Salah satu komentar yang memperkuat cerita mengenai masa pahitnya budaya dan tradisi tato suku‐suku Dayak misalnya dari seorang tattoo artist lawas legendaris Belanda bernama Henk “Hanky Panky” Schiffmacher tercatat dan dipublikasikan dalam sebuah buku tato dan bentuk‐bentuk body modification dalam perkembangan dan kehidupan kontemporer dan ritualnya yaitu berjudul “Modern Primitives”; “When the Dutch left Indonesia in the fifties, the new government said, “All right, no more of that spirit religion here. We want you to become either Muslims or Christians‐no other religion anymore. We’re going t become a modern society.” And how do you become a
2 Steve Gilbert, Tattoo History – A Source Book. 2000 – Juno Books, LLC. USA.
3 Steve Gilbert, Tattoo History – A Source Book. 2000 – Juno Books, LLC. USA.
halaman 3
modern society‐wearing western clothes even though it’s hot as hell, and building skycrapers?4
Ketika jaman semakin berubah dan tatanan kehidupan moderen yang dibakukan di semua lapisan masyarakat dibentuk secara sistematis. Ketika orang suku‐suku Dayak dari generasi yang berbeda mulai terpengaruh mind‐set yang sengaja tercipta, bahwa tato Dayak ataupun telinga panjang dan pakaian adat adalah keterbelakangan. Ketika
sudah terlalu massive masuknya banyak budaya lain dan populasi lain akibat kemajuan teknologi dan explorasi bahkan exploitasi hasil alam di Borneo.
Ketika tato Tribal mulai menjadi trend di awal 80an, kekaguman publik terhadap bentuk‐bentuk visual atau pola‐pola hitam yang tebal membuatnya memiliki pesona tersendiri dan berbeda dengan gaya atau aliran tato lainnya seperti traditional American tattoo dengan design jangkar atau jantungnya, ataupun aliran realistic tattoo
baik itu yang black and grey ataupun colorful, yang pada saat itu sangat populer di Amerika dan Eropa.5
Tato Tribal yang merupakan sebuah istilah mendunia hingga hari ini bisa dikatakan tetap terus mengalami masa kebangkitan dan menjadi bagian dari sebuah trend dalam dunia Tato, sejalan publik dunia di tatanan kehidupan modern memberikan perhatian cukup besar dan ingin menjadi bagian dari budaya dan tradisi tato Dayak yang
mengalami dinamika pasang surutnya serta menjadi salah satu tradisi tato etnik yang sangat terkenal seantero dunia.
Borneo telah menarik sejumlah antropolog, etnolog dan peneliti asing lainnya untuk mengunjungi Borneo dan melakukan riset dan pencatatan kebudayaan dan adat istiadat suku‐suku Dayak sejak abad ke 19, banyak tattoo artist dunia dari berbagai negara yang tertarik dan berperan dalam memperkenalkan design, motif atau pola tato‐tato Dayak melalui karya‐karya tato mereka pada tubuh publik di luar negeri sana menurut catatan dan dokumen yang ada telah dimulai sejak awal era 80an.
Dirangsang oleh berbagai apresiasi baru, permintaan atas minat dan pengetahuan akan seni dan budaya, orang‐orang dari segenap wilayah Pasifik, Asia hingga Afrika, Eropa dan Amerika mencoba memulihkan dan menghidupkan kembali seni tradisional mereka yang hampir hilang, termotivasi dan dibantu oleh banyak pihak yang tertarik pada praktek dan warisan budaya, khususnya tradisi tato tradisional. Kebangkitan tato Dayak sebagai salah satu budaya tato tertua dan asset penting bagi warisan tradisi tato dan budaya dunia sekali lagi telah banyak memberikan manusia modern dari berbagai pelosok di bumi ini identitas individualnya masing‐masing. Sama seperti pada masa lalu suku‐suku Dayak dan leluhur suku‐suku Dayak, manusia modern menggunakan design atau motif atau pola tato Dayak untuk mendefinisikan pencapaian sebuah masa atau prestasi atau pengalaman hidup tertentu, apresiasi masing‐masing individu dan ide‐ide spiritual, untuk menyatukan manusia modern dengan alam yang telah amat jauh berbeda secara general seiring perkembangan lingkungan sekitar yang telah berubah drastis akibat kemajuan teknologi dan kehidupan global serta secara bersamaan merupakan sebuah konsep identitas dan individualitas personal tertentu yang membedakannya dengan personal lain atau komunitas lain.
Bila kita cermati terkadang bisa ditemukan penggunaan design atau motif atau pola tato Dayak yang diaplikasikan kurang tepat. Apakah itu misalnya design yang seharusnya untuk laki‐laki tapi dibuat pada tubuh wanita atau sebaliknya, ataupun beberapa
4 V. Vale and Andrea Juno, Modern Primitives – An Investigation of Contemporary Adornment & Ritual. 1989 – RE/Search Publications. San Francisco, California, USA.
5 Judith Levin. Tattoos And Indigenous Peoples. 2009 – Rosen Publishing. New York, USA.
halaman 4
kesalahan penggunaan ataupun pembuatan yang dibuat di wilayah negeri ini atau di luar negeri. Kenyataan bahwa ketertarikan akan tato Dayak telah mewabah pada manusia modern termasuk banyak tattoo artist di Negara‐negara maju sejak tahun 80an menunjukkan terjadi cross‐culture dengan muatan arti penting atau makna budayanya
yang sedikit atau banyak, merupakan salah satu transformasi dan penyebaran informasi tentang budaya seni tato Dayak. Proses cross‐culture terhadap seni tato Dayak ini memiliki potensi yang bila dicermati secara seksama akan dapat diketahui seberapa besar tertarik tidaknya manusia modern akan design, motif atau pola tato tertentu, yang
setidaknya kemudian besar design atau motif atau pola tato tersebut akan mereka adopsi ataupun mereka sesuaikan, bukan diabaikan, terlupakan dan tersia‐sia.6
Kenyataan bahwa tradisi tato Dayak telah lama ditinggalkan akibat banyak alasan dan penyebab seperti yang telah dijabarkan diatas dan kurangnya ketertarikan terhadap tato tradisionalnya dari anggota suku‐suku dan sub suku atau orang asli Dayak maupun juga pada orang‐orang dari suku‐suku lain yang memili tradisi tato di muka bumi ini
diperkuat juga oleh pendapat atas pengalaman pribadi Henk “Hanky Panky” Schiffmacher dan Leo Zulueta. Hanky Panky: “I have my tools (tattoo equipments) with me, and what they want you to make is like our stuff; they don’t want traditional designs. I’ll make modern designs for them; you can’t blame them.”
Leo Zulueta: “A funny thing happened when I went to Mike Malone’s studio (almarhum Mike Malone adalah salah satu tattoo artist terbesar dalam sejarah perkembangan American traditional tattoo scene) in Hawaii, right after I’d gotten my large Micronesian (gugusan kepulauan di Pasifik) back piece tattoo (which done by Don Ed Hardy). Three older tattooed Micronesians came into the shop and I talked to them for awhile, and then told them, “Hey, I’ve got a really neat Micronesian‐style tattoo on my back” and whipped off my shirt. Two of them were yawning and turning the other way before I even had my shirt back on‐they were far more interested in the colored American eagles and naked lady designs on the walls!”
Jika dicermati apa yang semua telah diulas diatas, banyak pihak dari luar negeri sudah sejak akhir abad 19 telah tertarik pada budaya tato Dayak dan fakta‐fakta tersebut sudah membuktikan bahwa betapa pentingnya arti dan positioning tato Dayak memberikan kontribusi yang teramat besar bagi warisan Budaya Dunia.
Terlepas dari sisi negatif selain bukan hanya sisi positif dari masuknya banyak peneliti dan ekspedisi budaya ke suku‐suku Dayak di Borneo, ada baiknya kita selalu melihatnya dari sudut pandang positif.
Bagi kita yang di tanah air, kontribusi positif yang nyata dari berbagai pihak secara kelompok atau personal dari berbagai bidang ilmu untuk prose’s pembelajaran kembali dan perkembangan tato Dayak tidak hanya diharapkan dating dari para peneliti antropologi, etnologi dan sejarah, para tattoo artist dan publik yang ditatonya, melainkan juga dari mereka dari bidang fotografi atau video, media cetak, bidang ilmu kerajinan, misalnya untuk membuat kembali “Klinge” (stempel pahatan design/motif/pola tato pada kayu) atau perlengkapan‐perlengkapan tato Dayak lainnya.
Kontribusi yang bisa diberikan oleh bidang ilmu seni tato oleh seorang tattoo artist misalnya mengumpulkan dan menggambar ulang kembali design, motif atau pola tato-tato Dayak, mengaplikasikan design/motif/pola tersebut dan melestarikannya pada medium aslinya, yaitu kulit manusia.
6 Nicholas Thomas, Anna Cole and Bronwen Douglas, Tattoo – Bodies, Art, And Exchange In The Pacific And The West. 2005 – Reaktion Books Ltd. Durham, UK.
halaman 5
Semakin banyak individu secara personal membebaskan diri atas kontrol cara pikir dan ekspresi diri, dalam hal ini tubuh secara visual yang berhubungan dengan body modification, walaupun sering hak asasi mendasar ini sering dibungkam atau ditekan oleh nilai‐nilai ataupun tatanan yang diciptakan oleh kepentingan politik ataupun agama, semakin besar kemungkinan positif bagi tradisi tato Dayak kembali dibangkitkan dan dilestarikan.7
Beberapa contoh tokoh lintas budaya dari berbagai bidang keilmuan yang tertarik terhadap seni tato Dayak dan memberikan kontribusi yang besar, misalnya:
Charles Hose, seorang etnolog, zoologist (ahli ilmu hewan) sekaligus pegawai pemerintah kolonial Inggris yang bersama dengan‐dan dibantu oleh William MacDougall, seorang psikolog Inggris yang pada tahun 1912 menerbitkan catatan dan dokumen tertulis dan gambar tentang kehidupan tradisional, adat istiadat dan design, motif, pola tato suku‐suku Dayak, dan membukukannya dengan judul “The Pagan Tribes of Borneo”. Sebelumnya, Charles Hose bersama dengan‐dan dibantu oleh Robert Shelford, seorang entomologist (ahli ilmu serangga) dan pegawai museum kebangsaan Inggris, mengumpulkan dan menggambar design, motif, pola tato Dayak Kayan dan Dayak Kenyah dalam catatannya yang berjudul “ Materials for a Study of Tatu in Borneo” pada tahun 1906.
Leo Zulueta, dikenal sedunia sebagai bapak Neo tribal Tattoo sejak masa lahir dan berkembangnya aliran Neo Tribal di era 80an. Karya‐karya tatonya di masa itu yang berbasis pada design‐design tato tradisional Polinesia, Micronesia dan Borneo ! menjadi inspirasi sedunia menjadi salah satu contoh sebuah pelestarian dan perkembangan tradisi seni tato tradisional berikut design‐designnya.
Leo Zulueta adalah salah satu dari banyak tattoo artist barat yang tertarik menggunakan motif‐motif tato Dayak sekaligus juga mengolahnya hingga kemudian tercipta sebuah aliran baru dalam dunia tato yang kita kenal sebagai Neo‐Tribal. Semakin terkenal semenjak muncul dalam buku “Modern Primitives”, bahkan dia tidak
mengangap dirinya sebagai orang yang patut dijadikan sebagai inspirasi dunia dalam perkembangan tato tribal. Karya‐karyanya mengacu pada penelitian design tato tradisional sebagai pelestarian tradisi dan estetika. Dia pernah mengungkapkan, “semua orang tua yang memiliki tato motif‐motif sukunya telah meninggal… Orang terakhir
yang memiliki tattoo pada punggungnya sama seperti yang ada pada punggung saya, yang berumur lebih dari Sembilan puluh tahun, telah meninggal beberapa tahun lalu.
Oleh karenanya dapat jelas diterangkan mengapa saya benar‐benar merasa bersemangat untuk melestarikan design‐design tato tua tersebut”.8
Leo Zulueta yang keturunan Filipina, sempat dibesarkan di Hawaii dan berkewarganegaraan Amerika Serikat, adalah sebuah contoh yang dapat menunjukkan bahwa adalah cukup kompleks dan fariatif untuk menerangkan bagaimana seorang tattoo artist termotivasi dalam proses panjang penciptaan karya tato tribal‐nya. Kecenderungan yang seringkali terlihat adalah dikarenakan biografi pribadi lintas budayanya daripada dikarenakan pengalaman hidup mono‐dimensional.9
7 Rufus C. Camphausen, Return Of The Tribal – A Celebration Of Body Adornment. 1997 – Park Street Press. Vermont, USA.
8 V. Vale and Andrea Juno, Modern Primitives – An Investigation of Contemporary Adornment & Ritual. 1989 – RE/Search Publications. San Francisco, California, USA.
9 Nicholas Thomas, Anna Cole and Bronwen Douglas, Tattoo – Bodies, Art, And Exchange In The Pacific And The West. 2005 – Reaktion Books Ltd. Durham, UK.
halaman 6
Henk “Hanky Panky” Schiffmacher, seorang tattoo artist legendaris asal Belanda dan pemilik museum tato di Amsterdam yang dulu selalu berpetualang ke semua tempat yang memiliki tradisi tato suku‐suku asli, termasuk diantaranya pada tahun 1985 ke Indonesia yaitu ke Borneo & Mentawai. Di eranya pada awal 80an, ia cukup banyak
membuat tato motif Borneo dan kadang dipadukannya dengan motif Viking, Samoa ataupun Maori. Anthony Kiedis, seorang penyanyi sebuah band Amerika bernama Red Hot Chilli Peppers pernah diajak bersamanya mengunjungi Borneo pada tahun 1985.
Chris Wroblewski, seorang fotografer dan penulis buku tato terkemuka asal Inggris telah mengunjungi Borneo dan mengabadikan riset fotografi tentang suku Dayak Iban dan tatonya pada tahun 1983, tapi baru pada tahun 2004 mendapatkan kesempatan untuk menerbitkan bukunya yang berjudul Skin Shows – The Tattoo Bible yang
mempublikasikan hasil jepretan fotonya tentang Dayak Iban dan tatonya dalam 1 bab tersendiri.
Tom Lockhart, seorang tattoo artist Canada dan Vince Hemingson, seorang penulis dan ahli sejarah tato melakukan ekspedisi ke Borneo pada tahun 1987 dengan dibantu oleh Edi “Borneo Ink”dan mengabadikan perjalanan mereka dalam film dokumenter mereka berjudul “The Vanishing Tattoo” yang baru dipublikasikan tahun 2003.
Lars Krutak, seorang antropolog tato terkenal kebangsaan Amerika Serikat yangbmasih selalu melakukan ekspedisi budaya tato dan body modification lainnya di di banyak suku‐suku di bebagai penjuru dunia. Karya‐karya penelitian dan ekspedisinya bisa kita nikmati hingga kini di salah satu bukunya yang juga mengupas tentang tato‐tato Dayak yang berjudul “Tattooing Arts of Tribal Women” yang dipublikasikan tahun 2007 dan beberapa video dokumenter yang disiarkan oleh saluran berbagai liputan dan video dokumenter di Discovery Channel ataupun National Geographic.
Jeroen Franken, seorang tattoo artist Belanda yang sampai kini tetap kadang membuat tato‐tato Dayak. Ia pernah berkunjung ke perkampungan Dayak Iban dan membuat sebuah buku reportase perjalanannya dengan judul “Pantang Iban”.
Tattoo‐tattoo artist lain yang turut menggali, membuat kembali, mengenalkannya pada publik dunia, melestarikan design/pola/motif tato Dayak pada medium aslinya yaitu kulit manusia, seperti Ernesto Kalum dari Borneo Headhunter, Jeremy Lo & Boy Skrang dari Monkey Tattoo, Herpianto Folk Hendra & Erzane Folk Aksentrik dari Folkspace Tattoo, dll.
Catatan bibliografi:
• V. Vale and Andrea Juno, Modern Primitives – An Investigation of Contemporary Adornment & Ritual. 1989 – RE/Search Publications. San Francisco, California, USA.
• Chris Wroblewski, Skin Shows – The Tattoo Bible. 2004 – Cameron House. Wingfield, Australia.
• Rufus C. Camphausen, Return Of The Tribal – A Celebration Of Body Adornment. 1997 – Park Street Press. Vermont, USA.
• Lora S. Irish, Modern Tribal Tattoo Designs. 2009 – Fox Chapel Publishing Company, Inc.
USA.
• Judith Levin, Tattoos And Indigenous Peoples. 2009 – Rosen Publishing. New York, USA.
• Nicholas Thomas, Anna Cole and Bronwen Douglas, Tattoo – Bodies, Art, And Exchange In The Pacific And The West. 2005 – Reaktion Books Ltd. Durham, UK.
• Steve Gilbert, Tattoo History – A Source Book. 2000 – Juno Books, LLC. USA.
• Henk Schiffmacher, Ronald Timmermans & Almar Seinen, Henk Schiffmacher. 2007 – d’jonge Hond Publishers. Harderwijk, The Netherlands.
halaman 7
• Chris Wroblewski, Tattoo – Pigments of Imagination. 1987 – Alfred van der Marck Editions. New York, USA.
• Chris Rainer, Ancient Marks – The Sacred Origins of Tattoo and Body Marking. 2004 – Earth Aware Editions. California, USA.
• Lawrence Blair & Lorne Blair, Ring of Fire ‐ An Indonesian Odyssey. 1991‐Thames & Hudson. London, UK.
• Pierre Pfeffer, Biwak auf Borneo. 1965‐Schwabenverlag. Stuttgart, Germany.
• Henk Schiffmacher the Original Hanky Panky, Encyclopedia for the Art and History of Tattooing. 2010 – Uitgeverij Carrera, an imprint of Dutch Media Uitgevers BV. Amsterdam, The Netherlands.
• Maarten Hesselt van Dinter, Tribal Tattoo from Indonesia. 2007‐Mundurucu Publishers. The Netherlands.
• N. A. Douwes Dekker, Tanah Air Kita. 1951 – W. van Hoeve Gravenhage, Den Haag, The Netherlands
NB: foto-foto tidak dapat di tampilkan,silahkan dilihat di http://www.facebook.com/notes/aman-durga-sipatiti/dinamika-tattoo-etnik-dayak-dan-kontribusinya-bagi-warisan-budaya-dunia/10150368006814586#!/notes/lembaga-studi-dayak/dinamika-tattoo-etnik-dayak-dan-kontribusinya-bagi-warisan-budaya-dunia/1608833036036
Paper di sampaikan oleh bapak Hatib Abdul Kadir selaku pembicara dalam diskusi dan workshop tattoo, sebagai bagian dari rangkaian acara PESTA SENI DAN BUDAYA DAYAK SE-KALIMANTAN IX 2011 di Taman Budaya Yogyakarta, tanggal 21 Oktober 2011, dengan tema: "DINAMIKA TATTOO ETNIK DAYAK, DAN KONTRIBUSINYA BAGI WARISAN BUDAYA DUNIA"
Politik Revivalisme Budaya Lokal Melalui Tato Neo-Tribal
oleh: Hatib Abdul Kadir
Renaisans Tato Tradisional
Definisi tato mempunyai kemiripan yang sama di berbagai belahan dunia, yakni Tatoage, tatouage, tätowier, tatuaggio, tatuar, tatuaje, tatoos, tattueringar, tatuagens, tatoveringer, tattos, dan tatu. Definisi ini menunjukkan bahwa ada difusi atau persebaran kebudayaan tato dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Salah satu tato yang paling tua di Indonesia mulai dikenal sejak orang Mentawai, yang merupakan bangsa Proto Melayu dari daratan Asia, datang ke pantai barat Sumatera, di zaman Logam, 1500-500 sebelum Masehi. Tato Mentawai berhubungan erat dengan budaya dongson di Vietnam. Karena diduga, dari sinilah orang Mentawai berasal. Dari negeri moyang itu, mereka berlayar ke Samudra Pasifik dan Selandia Baru. Akibatnya, motif tato serupa ditemui juga pada beberapa suku di Hawaii, Kepulauan Marquesas, suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, serta suku Maori di Selandia Baru. Ketika jaman logam ditemukan dan kemunculan kreasi penajaman benda-benda tumpul, baik itu dari tulang maupun logam. Tato pada masyarakat tradisional sangatlah signifikan karena manusia masih pada tahap menuliskan pengalaman mereka bukan di atas carik kertas atau daun yang diberi tinta jelaga, melainkan pada tubuh yang lebih mobile. Batas-batas lingkungan juga belum secanggih sekarang, dimana setiap identitas yang multiple dapat ditunjukkan melalui gerbang kota, pagar, sistem kepercayaan, ras, hingga identitas supporter sepakbola yang membatasi antar region. Pada masyarakat tradisional, tato sekaligus digunakan sebagai batas wilayah. Bukti tuanya tradisi tato juga dapat dilihat pada perempuan yang menggunakan tato. Ini menunjukkan bahwa sebelum masuknya agama-agama besar yang bersita misoginy (membenci dan mendiskriminasi perempuan) seperti agama-agama Samawi, tato secara demokratis disandang baik oleh laki-laki dan perempuan.
Tato pada masyarakat tradisional menunjukkan struktur pemikiran masyarakatnya. (Structures of Mind) Sebagai misal dalam alam kosmologi Dayak mengenal tiga dunia yakni dunia atas dunia tengah dan dunia bawah. Setiap dunia tersebut mempunyai dewa yang di percaya. Tato yang mencerminkan dunia atas antara lain bergambar Burung Enggang, Bulan dan Matahari. Sedangkan tatoyang merepresentasikan dunia tengah antara lain disimbolkan dengan gambar alam lingkungan sekitar yang dapat membawa kesuburan dan kehidupan seperti hewan dan tetumbuhan. Salah satunya adalah gambar tato Sabang Sawalik atau Sawang yang dianggap sebagai pohon kehidupan. Tato yang menyimbolkan dunia bawah biasa bergambar Naga. Status sosial dalam sebuah komunitas juga dapat di munculkan melalui tato. Para klas elit seperti kepala suku, tetua desa, shaman, panglima perang biasanya menato tubuh mereka dengan gambar-gambar yang berhubungan dengan dunia atas. Sedangkan tato pada dunia tengah biasnya di kenakan oleh seorang Imam, yakni seseorang yang menjadi penengah antara dunia atas dan dunia bawah. Sedangkan masyarakat pada umumnya mentato tubuh mereka dengan simbol dunia bawah. Tipe-tipetato tersebut merupakan warisan dari generasi seblumnya, sehingga satu kelompok/klas tidak diijinkan menggunakna tato kelas lain.
Di sisi lain, tato tradisional juga sekaligus menunjukkan orang tersebut telah berbuat sesuatu, sebagai misal tato yang menunjukkan pengalaman mengayau pada masyarakat berburu dan meramu. Setelah masa mengayau mulai jarang dilakukan, khususnya pada masyarakat Kalimantan Tengah (sebagai misal dalam Perjanjian Damai Tumbang Anoi Tahun 1894 di Tumbang Anoi yang mengakhiri masa perang antar suku dan mengayau) makna tato mulai bergeser sebagai tanda bagi seseorang yang melakukan perjalanan merantau. Pada mode fungsi tato lainnya, menunjukkan fungsi pembagian kerja (division of labour) sebagai seorang pasukan perang ditato berdasarkan prestasi-prestasinya berburu dan mengayau. Sedangkan perempuan ditato berdasarkan pengalaman keahlian dalam menenun, menari dan menyanyi.Tato tradisional juga menunjukkan kejeniusan filsafati masyarakat adat dalam memandang dirinya sebagai manusia. Individu adalah hewan, individu adalah tumbuhan, dan tumbuhan adalah makhluk hidup, serta hewan adalah makhluk hidup pula. Ini menguatkan pandangan sosiolog Talcott Parsonn yang berasumsi bahwa sistem masyarakat adalah gabungan antara sosiologi dan biologi. Dalam sistem sosial, Manusia adalah makhluk yang hidup mengatur dirinya sendiri; sistem sosial tersusun dari bagian yang berfiferensiasi yang memebdakannya dari lingkungan sekitar. Manusia mempunyai batas, layaknya organisme satu sama lain. Dalam sistem sosial, manusia selalu beradaptasi dengan alam layaknya binatang. Manusia mempertahankan strukturnya dalam menghadapi lingkungan yang tidak bersahabat dan misterius. Gabungan antara sistem sosial dan mode kehidupan organisme hewan dan tanaman ini tampak pada tato flora masyarakat Dayak Iban misalnya, yang mensimbolisasikan kekuatan spiritualitas. Tanaman dianggap sebagai sumber utama kehidupan, yang juga menentukan hidup dan matinya organisme manusia.
Pada masyarakat Iban misalnya, padi sebagai tanaman dianggap jiwa dari nenek moyang dan ketika terurai dalam perut mampu menciptakan energy fisik bagi masyarakat. Sedangkan bagi perempuan kayan, Tato menggambarkan motif ular atau yang disebut aso umum ditemui hingga awal abad 20. Motif berbentuk ular tersebut tergambar di bagian dua belah paha berbentuk vertikal sehingga menyerupai huruf A. Tato bermotifkan kulit ular ini dipercaya mampu mengusir roh-roh jahat. Sedangkan tato bermotif silong lejau (wajah harimau) dan juga tato berbentuk buaya adalah tato hewan lainnya yang mempunyai simbol kekuatan dan digunakan untuk melawan roh-roh jahat. Tato ini sangat berhubungan dengan kekuatan perdukunan atau samanisme. Para penghuni di rumah panjang yang mempunyai tato motif hewan ini mampu mencegah masuknya roh-roh jahat dan juga wabah ke dalam rumah.Selain itu burung rangkong adalah motif paling penting karena burung ini dipandang sebagai utusan dari dewa perang. Motif tato lainnya adalah kalajengking dan ular air, Semua yang melindungi pemakainya dari roh jahat bersembunyi di hutan.
Gambar tato rosette adalah hiasan berbentuk mawar yang juga dipercaya sebagai mata anjing oleh masyarakat Iban.
Dengan demikian, Tato tradisional masyarakat Dayak merupakan bentuk seni spiritual yang menggabungkan antara kehidupan manusia, hewan dan tanaman kedalam satu unit. Tujuannya adalah menjaga keseimbangan kosmos, roh-roh jahat yang merusak, mengundang kesuburahn hingga memaknai kematian sebagai kelanjutan dari kehidupan yang abadi.
Prosesi tato tradisional juga memakan waktu yang lama, karena melibatkan seluruh keluarga. Dalam tradisi Dayak misalnya, sebelum melakukan penatoan biasanya dilakukan proses persiapan ritual, pendoaan kepada nenek moyang. Satu hari sebelum melakukan penatoan hal ini biasa di sebut dengan mela malam. Keesokan paginya seluruh keluarga inti perempuan akan membawa individu yang hendak ditato ke sanak keluarga dan tetangga yang dekat dengan rumah panjang. Sedangkan ritual operasi penatoan itu sendiri di laksanakan di sebuah rumah khusus yang memang disediakan oleh kelompok keluarga. Selama proses penatoan yang cukup menyakitkan tersebut, sanak famili harus mendampingi dan tidak pergi kemanapun. Proses pertama penatoan, tubuh akan disketsa dengan menggunakan alat tulis yang kemudian secara perlahan-lahan di tusuk dengan jarum yang berisi tinta hingga berdarah. Sedangkan bahan tinta terbuat dari getah tumbuh-tumbuhan. Agar individu yang ditato tidak bergerak, sebuah lesung besar biasanya diletakkan diatas tubuh. Jikapun ia menangis, maka tangisan tersebut harus dilakukan dalam alunan nada yang juga khusus. Selama ritual penatoan tersebut seluruh keluarga laki-laki juga di wajibkan memakai pakaian adat yang terbuat dari kulit kayu/cawat. Pakaian model ini biasa digunakan oleh mayat seorang tetua desa yang meninggal ketika dalam upacara pemakaman atau juga dapat digunakan oleh pasangan yang ditinggalkan. Lama-kelamaan tradisi tato dengan proses panjang dan menyakitkan seperti diatas telah ditinggalkan.
Tradisi tato tradisional rentan sekali mengalami kepunahan mengingat usianya yang tua, telah ada sebelum periode masuknya Islam dan yang terpenting adalah, hampir semua pelaku kebudayaan tato ini adalah masyarakat yang berjumlah populasi sangatlah kecil. Sebagai misal di perkirakan jumlah populasi masyarakat Dayak Iban ada 12.000 jiwa. Itupun sudah termasuk sebagai subsuku Dayak dengan populasi terbanyak ketiga di Kalimantan Barat. Bandingkan dengan jumlah populasi masyarakat Jawa yang bukan berburu dan meramu, melainkan bertani dan tidak mempunyai tradisi budaya tato secara popular.
Selain itu, punahnya tato tradisional telah seringkali dianalisis, karena munculnya Negara dan juga agama-agama besar yang tidak ramah terhadap rajah tubuh ini. Jika mengikut pada konsepsi Michel Foucault, segala bentuk pendisiplinan dan hukuman tubuh, maka hasil akhir dari total subjugation nya, bukanlah resistensi melainkan “bio struggle” yakni menciptakan kesenangan dibalik kontrol yang total dan disiplin terhadap tubuh. Padas masyarakat modern tingkat tinggi, tato tidak dilihat sebagai mode resistensi melainkan kesenangan dan tren. Kesenangan ini merupakan respon balit terhadap gaya berpikir kekinian dan linear dalam dunia modern. Kesenangan bertato masyarakat postmodern juga dapat mengacu pada konsep sebagai Simulacra" yakni konsep majemuk dari "simulacrum" yang berarti kesukaan yang bersifat superficialdalam istilah Baudrillard’s (1994). Istilah ini mengacu pada aktivitas peniruan yang dihubungkan dengan era pra-modern.
Munculnya berbagai mesin tato, berhasil mempercepat, mengurangi rasa tato dan mengeliminasi mode ritual dan simbolisasi spiritual dalam tato tradisional.Tato elektrik dengan beberapa perangkat mesinnya pertama kali diilhami karena penemuan cetakan pena oleh Thomas Alva Edison (1847-1931).Penemuan mesin tato merupakan pintu gerbang menju kecepatan mesin tato modern yang mampu merajah ke kulit antara 2000-3000 tusukan permenit. Tusukan ini jauh lebih cepat di banding tato manual seorang master tattois Jepang yang mempunyai kecepatan rajahan 90-120 permenit. Selain itu mesin tato modern mampu mereduksi rasa sakit secara signifikan. Munculnya mesin tato modern ini juga salah satu andil terlupakannya tato tradisional yang dianggap lama dan menyakitkan. Tato pada masyarakat modern tingkat tinggi tidak lagi mendebatkan apakah perajahan tubuh ini adalah tindakan yang identik dengan kriminalias atau tidak, melainkan melampaui perdebatan tersebut dan telah beranjak pada isu-isu pembuatan tato yang higienis, Hal ini di karenakan mulai tumbuhnya kesadaran dan keprofesionalan di kalangan tattoist untuk selalu menggunakan sarung tangan, jarum, tinta, sabun anti kuman (disinfectan soap) yang steril dan sekali pakai.
Modernitas dan People Without Culture?
Tulisan ini berasumsi dasar pada dua hal, pertama, perubahan yang terjadi pada struktur sosial, berakibat pada berubahnya mentalitas dan ide budaya yang terjadi pada masyarakat. Perubahan struktur tradisionalitas ke modernitas misalnya, tidak hanya mengubah pula pemaknaan manusia terhadap Tuhan, tapi juga perubahan bentuk karya seni, perubahan kota, perubahan arsitektur, hingga perubahan perlakuan terhadap tubuh. Demikian pula, ketika struktur modern diperkenalkan, dominannya agama-agama besar, berlakunya hukum positif, mengubah pula tradisi-tradisi yang dianggap primitive seperti kekerabatan keluarga besar, mengayau dan juga tradisi menato. Tatkala kehidupan sosial politik di Indonesia mengusung modernitas pembangunan ambruk bersama rejim Orde Baru, maka terjadi pula perubahan pada bukan hanya seni, arsitektur dan juga model-model tato dan persepsi masyarakat luas dalam melihat orang bertato. Seperti juga ciri khas struktur modernitas, yakni sekularisasi, dalam tato modern, kepraktisan proses pembuatan tato di parlor-parlor modern memisahkan nilai sakral dan sisi relijiusitas tato. Sedangkan salah satu ciri tato neo tribal masyarakat urban adalah melakukan reaksi terhadap modernitas dengan mencari desain tato yang berhubungan pada nilai spiritualitas antara tato dan berbagai kepercayaan yang mengikut didalamnya.
Kedua, munculnya revivalisme tato tak lepas dari gelombang globalisasi pada saat ini yang bergerak justru dari arus bawah. Seperti gerakan lingkungan hijau, gerakan indigenisme dan tanah adat yang terjadi dari pertengahan tahun 1990-an mulai dari kasus orang Maya di Amerika, Aborigin di Australia, hingga merambat belakangan ini di Indonesia. Gerakan ini menunjukkan bahwa globalisasi tak selalu diusung oleh media dan masyarakat klas atas seperti yang kita bayangkan selama ini, tapi juga orang-orang akar rumput juga mempunyai kekuatan untuk melakukan gerakan “globalisasi arus bawah tersebut”. Dengan demikian, saya melihat bahwa munculnya promosi terhadap tato-tato tradisional merupakan ajang pengakuan kembali atau “inklusi” terhadap masyarakat tribal yang selama ini menjadi korban kemajuan dan pembangunan, menghadapi diskriminasi sistematis, mengalami tingkat kemiskinan yang akut, dan buta huruf tinggi. Revivalisme tato di Mentawai juga menunjukkan bahwa masyarakat pribumi telah memasuki kembali sebuah arena kekuasaan dalam menentukan identitasnya, seperti pula terjadi pada masyarakat indigen di belahan benua lainnya.
Pengutamaan modernitas adalah pada pengejaran tiada henti pada produk-produk “kekinian”, sehingga melupakan masa lalu sebagai bagian dari produk kekinian. Karena itu masyarakat yang mempunyai tradisi tato sesungguhnya tengah ditempatkan sebagai “people without culture” dimana masyarakatnya ada, namun dipaksa untuk menghilangkan kebudayaannya. Di beberapa kawasan lokal, seperti Timor, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan lainnya, tato merupakan kekayaan Indonesia yang dipaksa untuk nyaris hilang. Padahal, dari tato-lah, kita dapat melihat seperti apa bangunan pemikiran yang ada dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga di setiap daerah, tato pasti mempunyai bentuk dan ciri khasnya yang berbeda. Desain Tato dari kawasan Sulawesi misalnya, mempunyai motif bergaris-garis dengan lekukan ukiran yang serupa pada rumah-rumah tradisionalnya. Sedangkan tato dari kawasan Pulau Roti, Timor lebih menyerupai lepasan-lepasan helai bulu burung, terkesan sederhana tapi tetap anggun dengan satu garis saja. Motifnya menyerupai capung atau seekor burung yang ramping. Terdapat pula bentuk tato dadu, lingkaran, garis membentuk kotak dengan empat atau satU lingkaran didalamnya, yang kesemuanya menegaskan keseimbangan antara kanan dan kiri. Di Seram, tato orang-orang kakehan dianggap sebagai tanda pela (persaudaraan) pasca seremoni ritual. Tato orang-orang kakehan dapat ditafsirkan pula sebagai “selesai sudah” atau selesai dalam perseteruan dan ditandai dengan tato di bagian bagian dada kiri berbentuk empat mata arah angin dengan di masing-masing penghujungnya membentuk seperti tato. Sedangkan tato motif Koita-Papua, dikhususkan pada perempuan. Desainnya menunjukkan beragam tahap usia perempuan. Tato pertama diberikan pada mereka yang berusia lima tahun dan yang terpenting adalah ketika perempuan mulai memasuki masa pernikahan. Tato yang dirajah mulai dari di sekitar payudara, atau pula motif rantai yang melingkar di belakang leher, menandakan perempuan telah memasuki masa tunangan dan hendak menikah. Suasana tato biasanya dilakukan dengan sangat hening.
Hampir semua tato yang saya gambarkan diatas, diletakkan diluar bagian tubuh, dengan tujuan agar semua orang paham dan sepakat dengan simbol-simbol yang telah dibuat bersama, baik itu berkenaan dengan identitas hingga status. Tato di Indonesia memang demikian beragam motifnya, karena Indonesia sendiri adalah Negara yang menyatukan berbagai etnisitas yang sebelumnya terpisah. Ini berbeda dengan Jepang sebagai sebuah Negara yang mempunyai etnis tunggal dengan motif tato yang tak sekaya Indonesia dan cenderung didominasi oleh ikan misalnya.
Pada tataran tato tradisional ini, tato bukanlah simbol kemerdekaan dan kebebasan tubuh, karena justru tubuh diletakkan sebagai perangkat yang menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan individu terhadap aturan-aturan yang disepakati dalam struktur masyarakat tersebut, sehingga tato dipahami maknanya secara komunal. Ini berbeda dengan tato modern dimana hanya tiap individu saja yang paham terhadap makna tatonya sendiri, sehingga dimaknai sebagai sebuah kemerdekaan tubuh sepenuhnya. Sedangkan tato postmodern adalah gabungan antara campuran tato yang mempunyai makna personal dan symbol-simbol tato yang juga dipahami secara komunal. Di ranah inilah kemudian muncul gerakan tato yang dimotori oleh folk tattooist seperti Durga[1] Sipatiti, Chay Siagian, dan Ade Itameda. Mereka merupakan bukti dari upaya orang-orang yang dibesarkan di jaman modern untuk mengungkapkan kembali tato tradisional masa lalu. Para aktivis tato ini menggabungkan antara seni tato tribal pada masyarakat dengan menggunakan teknologi mesin tato modern. Dengan melakukan ini para aktivis tato tribal telah merasa dirinya terpanggil oleh nenek moyang dan bukan karena tuntutan ekonomi semata-mata yang sering mendasari semua motif aktivitas masyarakat modern. Dengan demikian, orang-orang yang punya latar belakang demikian global dapat dikatakan justru mempunyai kesadaran postmodern untuk menghidupkan kembali tato-tato tradisional yang masih berurat akar pada diri dan nenek moyangnya sendiri.
Revivalisme Budaya, Kritik terhadap Modernitas
Sebelum periode reformasi di Indonesia, makna adat dan budaya diperlakukan secara negatif karena dilihat menghambat pembangunan; bertentangan dengan agama-agama misionaris. Adat dimaknai sebagai budaya daerah (regional culture) yang berada di wilayah pinggiran budaya Nasional. Adat telah kehilangan nilai sakralitasnya dan hanya dihubungkan dengan "seni", "custom" dan gereja atau agama Islam memandangnya sebagai kegiatan "pagan" yang menentang Tuhan. Sedangkan pemerintah menempatkan adat tak lebih sebagai bentuk pameran material yang dipertontonkan semata-mata kepada para wisatawan. Fenomena kebangkitan adat merupakan gejala yang baru terjadi belakangan ini dan menyebar dimana-mana, baik di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua hingga Jawa itu sendiri. Namun demikian, studi-studi tentang kebangkitan adat selama ini lebih terkonsentrasikan pada beberapa hal utama, yakni permasalahan tanah, pariwisata, krisis lingkungan, pertambangan dan taman nasional. Permasalahan kebangkitan adat belum menyentuh pada kajian bagaimana tubuh digunakan sebagai “simbol” terhadap protes modernitas dan pembangunan yang mengabaikan tradisionalitas.
Munculnya gerakan revivalisme adat dan budaya merupakan salah satu kritik terhadap modernitas dan pembangunan yang selama ini menderapkan dirinya pada kemajuan, dan hanya mencemaskan masa depan. Budaya dan adat yang dianggap masa lalu tidak dianggap merepresentasikan bagian dari modernitas. Sedangkan masa lalu disimpulkan bermuatan nilai-nilai otentik, penuh dengan rasa komunalitas, tatanan yang jelas dan keadilan. Modernitas yang penuh dengan persaingan antar agen-agen individu mensubordinasikan masyarakat adat yang komunal dan dianggap berjalan lamban. Munculnya kekuatan adat dan protes yang dilakukan terhadap modernitas dan pembangunan menjadikan gerakan adat dan protes-protesnya belakangan ini bersifat ideologis. (Di beberapa Negara di Amerika Latin misalnya Bolivia dan Equador, gerakan ini menjadi bersifat ideologis, karena disenyampangkan dengan gerakan sosialis). Melalui studi tubuh tato ini maka kita dapat menelusuri sejauh mana hak warga Negara (citizenship) selama masa pembangunan tereksklusi dan sejauh mana gerakan tato merupakan bagian dari ideologisasi gerakan revivalisme adat. Selain itu, sudah bukan jamannya lagi mengkriminalisasikan tubuh bertato, karena seiring dengan revivalisme budaya, pada masyarakat urban, tubuh bertato bisa dilihat sebagai bagian dari individualisasi ideologi para penggunanya, sedangkan di ranah pedalaman seperti Borneo dan Mentawai, tubuh bertato merupakan telah menjadi bagian dari kebangkitan hak-hak warga Negara minoritas yang terksklusi oleh pembangunan dan kepentingan agama-agama besar, dan hampir sama posisinya dengan penuntutan hak atas tanah adat, hingga hak atas hutan adat.
Tato neo tribal pada masyarakat urban dan juga kebangkitan tato tribal pada masyarakat pedalaman menunjukkan bahwa batas antara modernitas dan tradisionalitas serta batas antara masa depan dan masa lalu adalah bersifat kabur serta tumpang tindih. Kebangkitan tato tradisional menunjukkan inklusivitas masyarakat tato tradisional dengan membolehkan siapapun untuk ditato, meski orang tersebut bukanlah masyarakat pribumi. Tato tradisional menjadi inklusif, karena bisa di-copy paste tanpa harus meninggalkan berbagai ritual dan proses penatoan yang rumit, menyakitkan dan panjang. Fenomena ini terjadi di belahan dunia, misalkan seseorang dari Inggris, Amerika yang hendak melakukan proses penatoan Moko pada orang Maori di Selandia Baru, orang-orang Jakarta dan Jogja yang mengikuti penatoan di pada masyarakat Sumba atau Mentawai dan seterusnya. Mau tak mau, outsiders yang ditato harus paham tentang nenek moyang, adat istiadat, religi, kekerabatan, subjek yang didatangi, serta melakukan seremoni yang tak singkat. Berbeda dengan model “Yuppie” tato atau penaton neo-tribal di studio modern, melakukan hand poked, hand tapping, desainnya adalah lama, sedangkan mesinnya yang baru dan proses penatoan yang super kilat tanpa melakukan ritual terlebih dahulu. Sebagai misal, Iwan Djola, melaporkan bahwa Di Yogyakarta, banyak pemuda non Dayak yang kini meminta seorang Tatto artist memasang secara permanen Kelingai, Pasun Nyalak, Ketam Ngerayap, Tedong Beambai pada tubuhnya. Komodifikasi tato postmodern ini menunjukkan bahwa batas antara tradisional dan modern kemudian menjadi bertumpang tindih.
Kegemaran terhadap tato-tato pedalaman merupakan bagian dari keinginan masyarakat klas menengah urban yang belakangan ini merujuk pada berbagai tradisi pra Islam. Revivalisme ini tampak di berbagai ranah, seperti misal pada bentuk arsitektural kantor, universitas, pakaian adat sebagai seragam kantor hingga tato Mentawai. Istri sikerei, tetua agama Mentawai misalnya, juga harus ditato sebagai simbol status yang tinggi, dari rajah yang merembet hingga ke payudara menunjukkan bahwa bagian tubuh ini bukanlah sesuatu yang patut ditutupi sebagaimana konsep aurat dalam ajaran agama semitisme yang datang dari Timur Tengah. Sedangkan pada isu yang terkini, Atonk Tato, dari Jogja misalnya, mensimbolisasikan gerakan melawan Negara dengan cara membubuhkan tato gratis bertanda hobo logo kesultanan Jogjakarta setelah isu keistimewaan Jogja digugat oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meski Jogja tidak mempunyai tradisi tato tribal secara popular, namun Atonk yang juga berasal dari generasi modern menentang mode demokrasi yang ditawarkan Negara pusat kepada tradisi wilayah dimana ia berada yang dilihatnya telah menjalani kehidupan harmoni, seimbang dan tenang.
Tato kini semakin merambah pada masyarakat urban klas menengah atas. Persebaran yang luas ini menunjukkan bahwa tubuh dapat digunakan sebagai alat peraga komodifikasi. Masyarakat klas menengah urban mempunyai modal budaya dengan tidak hanya pada “apa yang harus dilakukan“, namun juga“bagaimana menunjukkan penampilan“.
Politik Identitas Tubuh Posmodern
Dengan MenggunakankerangkaFoucauldian, seperti dalam bukunya Discipline and Punish, saya percaya bahwa tubuhjuga dapat langsungterlibat dalambidang politik; investasi hubungan antar kekuasaan, karena di dalam tubuh mampu memancarkan tanda-tanda peranan dalam fungsi sosial kemasyarakatan. Proyek-proyek kolonialisas, modernitas dan pembangunan, di Asia dan Afrika menghadirkan tato sebagai sebuah praktik masyarakat primitif yang terkolonisasi[2].Lebih lagi jika tubuh bertato, yang memproduksi makna tanda baik secara semantik maupun semiotik. Sebagai misal, pada abad ke empat di kerajaan Romawi, tato berguna menjadi penanda untuk mereka yang pernah terlibat dalam kegiatan kriminal dan masuk ke dalam penjara. Sedangkan tanda lainnya, dapat dipahami secara komunal dan kultural. Sebagai misal, jika seseorang di tato dengan tanda hewan tertentu di Mentawai, atau Iban misalnya, maka, dapat dipastikan bahwa semua orang di kawasan tersebut memahami simbol-simbol yang tertoreh dalam tubuh bertatonya. Tato menjadi tanda tubuh yang memberikan simbol asal-usul wilayah, profesi, status yang diketahui secara bersama pada komunitas tertentu.
Pada masyarakat tribal, secara komunal, tato mempunyai beberapa fungsi, antara lain seperti sebagai ritual. Tato juga berfungsi sebagai identifikasi seseorang bagian dari sebuah kelompok yang terberi, seperti kekerabatan, klan dan juga marga serta pembagian kerja/division of labour (Berburu, menyelam/mencari ikan, bermain Sape’, berladang, bertarung, menempa besi, termasuk mengayau) seperti pada tato Dayak Kayan. Ini berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat urban, ketika tato menjarah ranah masyarakat klas menengah dan menjadi bagian dari fashion, penatoan yang dilakukan secara individual di parlor-parlor modern, mengusung ide-ide makna dibalik tato secara individual. Tidak ada komunalitas masyarakat yang paham secara bersama-sama seperti pada kasus tato tradisional. Maka tato pada masyarakat urban lebih bersifat individualis, ekspresif dan lebih beragam. Ini menunjukkan bahwa tato modern mengalami semacam kekacauan antara penanda (benda yang memberikan tanda, seperti tato) dan tinanda (konsep pemikiran yang selalu member peluang untuk memunculkan ruang penafsiran), dimanaantara tanda dalam tato, belum tentu benar-benar merujuk secara seragam pada apa yang ada dalam mental pemilik kebudayaan.
Proses komodifikasi tato modern tak lepas dari ditemukannya tato mesin elektrik yang beredar pada tahun 1870-1890, khususnya di Amerika. Tato mesin bukan hanya berguna mempercepat proses penatoan, tapi sekaligus mengurangi rasa sakit, memperkaya warna, dan bayangan tato. Ketika terjadi proses mekanisasi, proses penatoan yang singkat dan hilangnya sakit pada tubuh mengakibatkan menguapnya sakralisasi dan spiritualitas selama proses penatoan. Sedangkan meningkatnya masyarakat bertato neo-tribal di Indonesia merupakan bagian dari reaksi skeptisme posmodernitas terhadap berbagai komodifikasi modern, sekaligus merupakan kampanye-kampanye indigenisasi, determinasi diri dan otonomisasi hak-hak warga Negara yang selama ini memisahkan masyarakat tribal dari kesatuan Negara bangsa. Revivalisme tato neo tribal juga merupakan bagian dari keinginan masyarakat modern untuk kembali dekat dengan alam dan kehidupan sekitarnya, mengingat hampir semua motif tato tradisional mengacu pada binatang, tumbuhan, roh-roh yang dekat sekali dengan kehidupan mereka. Selain itu, analisis tubuh bertato yang selama ini didominasi oleh mode analisis subculture dan devian mulai berubah arah ke bentuk tato sebagai proses revivalisme kultural dan romantisasi budaya masa lalu yang dianggap ideal, tapi terlanjur hampir punah.
Revivalisme kultural dalam bentuk pencatatan motif tato sangatlah penting, mengingat warisan budaya ini tidak seperti teks di kertas yang dapat bertahan ratusan tahun dan direproduksi kembali melalui mesin cetak. Tato pada tubuh adalah seni yang berjalan sesuai dengan usia subjek, dan jika tidak diwariskan atau direproduksi, maka kepunahan tato tradisional, seperti tato Mentawai ini akan sudah di depan mata.
Dosen antropologi budaya, Universitas Brawijaya
Referensi:
Caplan , Jane, ‘Indelible memories’: the tattooed body as theatre of memory dalam Performing the Past Memory, History, and Identity in Modern EuropeKarin Tilmans, Frank van Vree and Jay Winter (eds.) Amsterdam University Press
Davidson, Jamie S. and David Henley, The Revival of Tradition in Indonesian Politics The deployment of adat from colonialism to indigenism, Routledge, 2007.
Djola, Iwan, “Tatto, identifikasi identitas, dan nasionalisme“. Beringin Soekarno, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 17 Oktober 2010 yang diselenggarakan oleh IMPULSE.(Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies)
Foucault, Michel (1975). Discipline and Punish: the Birth of the Prison, New York: Random House.
Handoko, A “Tato, Simbol Diri Orang Dayak Iban” dalam Kompas, 8 Oktober, 2011.
Kadir, Hatib Abdul, Tato, LKiS, 2006
[1] Durga adalah seorang seniman yang pernah belajar di Fakultas Seni Rupa program studi Desain Komunikasi Visual di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogkarta. Namun kini ia beralih ke seni tato setelah menetap di Los Angeles (LA), Amerika Serikat, antara tahun 2006—2008. Di LA ia terpilih menjadi murid program Tattoo Apprenticeship, berguru dan bekerja untuk Black Wave tattoo studio di LA, tiap hari bekerja di bawah bimbingan Sua Sulu’ape Freewind. Ia adalah seorang ahli tato ternama dan sangat dihormati karena memelihara tradisi tatau (tehnik tato tradisional Tahiti, Samoa, Polinesia). Sedangkan sang guru sendiri pernah tinggal di Polinesia dan kerap berkunjung ke suku Dayak Iban di Serawak, Kalimantan.
[2] Secara kebahasaan bahwa kata “tattoo” di temukan oleh James Cook pengelana Inggris, dalam memoirnya di pada tahun 1769. Kata ini kemudian diperkenalkan pada masyarakat kulit putih dan menyebar luas. Kata-kata yang didapat dari Negara-negara terkoloni digunakan karena masyarakat kolonial tidak mempunyai kosakata aslinya, misalnya tato, latah dan amok.