Selama
ini pengaruh Hindu-Buddha di Nusantara (Indonesia.red) yang kita ketahui hanya
bernuansakan pada budaya masyarakat 'Jawa' dalam konteks kekinian, misalkan
terselipnya lakon pewayangan dalam tradisi abangan (Kejawen.red). Sementara di
luar Jawa, nuansa tadi telah tergerus seiring jaman, Sumatera misalnya; di mana
Kerajaan Sriwijaya pernah mencapai puncak keemasannya di masa pemerintahan
Balaputeradewa (circa, 856-). Di wilayah yang sekarang kita sebut 'Palembang'
nuansa Buddha yang tersisa hanyalah berupa bukti fisik seperti beberapa
prasasti,dan candi Muara Takus peninggalan kerajaan Sriwijaya. Nuansa abstrak?
sepertinya masih terpelihara oleh sebagian kelompok masyarakat, hanya saja
dalam bentuk pencitraan yang lain terlebih dengan masuk budaya 'Islam' di awal
abad ke-19. Menilik pada hal tersebut di atas, wilayah lainnya selain Sumatera
(Swarnnabhūmi) dan Jawa (Jawadipa) mengalami hal yang sama
tidak terkecuali Kalimantan. Pengaruh Hindu mulai redup sejak masuknya budaya
Islam di daerah pesisir, bahkan kerajaan Hindu tertua di nusantara Kutai (berdiri
sekitar abad ke-4) beralih menjadi Islam setelah ditaklukkan oleh Kutai
Kertanegara (berdiri sekitar tahun 1300an) yang kemudian menjadi kerajaan Islam
di masa pemerintahan Aji Muhammad Idris (1735-1778). Demikian juga dengan
kerajaan lainnya seperti kerajaan Matan, Sukadana dan Landak di Kalimantan
Barat.
Bagaimana
dengan Kalimantan Barat?. Dalam konteks ini, budaya Hindu memang telah
berkembang di Kalimantan jauh sebelum berdirinya kerajaan Mataram Hindu
(752-1045), atau sejaman dengan kerajaan Tarumanegara (358–669) di Jawa Barat.
Kerajaan Kutai Hindu tidak bertahan lama, besar 'kemungkinan' penerus terakhir
dari masa ini sepeninggal raja Dharma Setyawarman menyingkir ke pedalaman
Kalimantan. Dari berbagai literatur, beberapa kerajaan di Kalimantan Barat
termasuk dalam wilayah kekuasaan Singhasari (1222-1292) dan Majapahit
(1293-1500), tetapi kerajaan-kerajaan taklukkan ini berada di pesisir termasuk
Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur. Sedangkan di pedalaman Kalimantan
beberapa kerajaan (sebelum ekspedisi Pamalayu utusan raja Singasari) yang
bercirikan Hindu berdiri sendiri, tidak terjangkau oleh kekuatan dari luar, termasuk
di antaranya Kerajaan Sanggau (J.U Lontaan, 1975:170) dan Kerajaan Sintang yang
keduanya didirikan sekitar akhir abad ke-4, yang sekarang menjadi bagian dari propinsi
Kalimantan Barat (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:15).
Dari
kerajaan Sanggau dan Sintang inilah berbagai spekulasi bermunculan berkenaan
dengan keberadaan Batu Bertulis yang ditemukan di Dusun Pait, sekitar 30 km
dari Nanga Mahap, kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Keberadaan situs sejarah
ini sering dibahas di berbagai media, sehingga menarik minat dari Pemerintah
Pusat (Puslitar dari Jakarta tahun 1982) termasuk ilmuan-ilmuan asing untuk
meneliti langsung peninggalan sejarah tersebut. Dari penelitian-penelitian tadi
ditarik kesimpulan; situs tersebut diperkirakan telah ada sejak tahun 650 pada
abad ke-7 M, dan bertuliskan huruf Pallawa berbahasa Sankskerta. Dari fakta
lunak di atas, tampaknya teori tentang Batu Bertulis merupakan peninggalan
kedua kerajaan tadi menjadi masuk akal. Akan tetapi belakangan berbagai
perdebatan mengenai ‘teori’ tersebut mulai dibicarakan tanpa titik temu yang
jelas. Inilah yang disebut wilayah ‘rentan’ dalam sejarah. Beberapa perdebatan
ini dapat diuraikan sebagai berikut.
1.
Batas wilayah kekuasan antara Kerajaan Sanggau
(berpusat di Mengkiang) dan Kerajaan Sintang
(berpusat di Sepauk) tidak pernah terpetakan dengan jelas (J.U Lontaan,
1975:170). Sedangkan wilayah Sekadau dalam beberapa literatur lokal sebagian
masuk dalam kekuasaan Kerajaan Tayan yang didirikan oleh Gusti Likar seorang
raja keturunan Majapahit (Usman, 2002).
2.
Aksara yang terdapat di Batu Bertulis berhuruf Pallawa,
berbahasa Sanskerta. Dalam literatur disebutkan beberapa kerajaan di pesisir
Kalimantan menggunakan bahasa Melayu Kuno berhuruf Pallawa kecuali Kutai Hindu.
Antithesis ini merunut pada pengaruh Sriwijaya (600-an s/d 1100-an) yang saat itu menguasai nusantara termasuk
Kedah dan Johor (sekarang bagian dari Malaysia).
3.
Disebutkan Patih Logender yang memimpin Ekspedisi
Pamalayu berkunjung ke Sintang atas perintah raja Singhasari, Kertanegara dan
menikah dengan Putri raja Sintang saat itu (Syahzaman & Hasanuddin,
2003:19). Patih Logender inilah yang
disebut-sebut membangun Batu Bertulis yang ada sekarang, disebabkan kebiasaan
yang dilakukan oleh raja-raja di Jawa sebagai batu peringatan layaknya
Prasasti. Tetapi Logender hanyalah sebagai penasehat kerajaan, sedangkan yang
berhak mengeluarkan bentuk ‘peringatan’ semacam itu, dalam hal ini adalah istrinya
sendiri Dara Juanti saat itu menjadi Ratu Sintang (1291-??).
4.
Jika memang Batu Bertulis dibangun sekitar tahun 650,
maka pengaruh Hindu berasal dari Kutai, bukan dari Singhasari atau Majapahit. Hal
ini merujuk pada prasasti Yupa peninggalan Kutai berhuruf/bahasa yang sama
seperti Batu Bertulis. Sedangkan di masa Singhasari dan Majapahit, prasasti tentang
keduanya sebagian berbahasa kawi. Sejarah
dua kerajaan tadi juga tertulis di lembaran-lembaran lontar yang sekarang kita kenal
dengan ‘Pararaton’ dan ‘Negarakertagama’ dan beberapa kitab lainnya termasuk Sutasoma.
Prasasti yang ditemukan di Jawa sebagian merupakan peninggalan Kerajaan Mataram
Hindu.
Terlepas dari banyaknya teori tentang
keberadaan Batu Bertulis yang sekarang menjadi aset berharga bagi kita semua. Teori-teori
tadi hanyalah spekulasi berdasarkan gambaran umum yang terjadi saat itu.
Mengingat, sifat sejarah itu sendiri yang dinamis, berbagai perkembangan di
masa sekarang ini sekiranya perlu dikaji dan dibahas kembali agar tidak berlalu
begitu. Demikianlah, salah satu cara serta upaya kita untuk menghargai sejarah
dalam pelbagai aspek. Sekiranya catatan ini dapat menjadi referensi yang sedikit
mungkin bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat kekurangan dalam tulisan ini,
atau mungkin ada sesuatu yang baru, yang terlewatkan mohon untuk diperbaharui
dan dikoreksi. Wassallam…..