Jumat, 19 Juni 2009

Wind of Change


Angin Perubahan sebetulnya mulai bertiup kearah orang Dayak, salah satu indikator paling sahih adalah duduknya tokoh-tokoh Dayak sebagai Kepala Daerah di beberapa provinsi dan kabupaten daerah Kalimantan, terutama Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Semarak peristiwa dan festival budaya Dayak dalam berbagai agenda pariwisata, revitalisasi lembaga adat dan semakin banyaknya kaum terpelajar Dayak yang menduduki posisi penting disuatu organisasi, lembaga, birokrasi atau partai politik menunjukkan adanya angin perubahan yang muai bertiup.

Ini merupakan berita baik yang perlu kita akui sebagai sebuah perubahan. Walaupun kadarnya masih kecil, setidaknya orang Dayak telah menapak dijalur yang benar, hanya saja mesti kita percepat dan kita perbaiki karena masih banyak pekerjaan rumah yang perlu kita selesaikan lebih cepat.

Angin perubahan itu perlu kita dorong agar lebih cepat, lebih akurat dan lebih besar. Pada waktunya perubahan mengenai identitas orang Dayak akan mengelinding seperti bola salju yang makin lama makin besar dan akan semakin besar lagi. Janganlah terkungkung dalam tempurung kecil yang hanya mampu melompat sebatas tempurung saja tanpa berani melompat lebih tinggi. Kita perlu berada ditempat yang cukup tinggi untuk melihat kebawah bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang mesti kita benahi agar perubahan menjadi bagian dari citarasa dan catatan sejarah identitas manusia Dayak.

Perubahan itu ada, masa transisi sedang berjalan pada jalurnya, simbol tradisi muncul dimana-mana sebagai ekspresi keberadaan suku Dayak. Simbol-simbol itu segera menjadi lambang-lambang perubahan dan kebesaran ditengah gencarnya pembangunan di Kalimantan. Rumah Betang baru berdiri di berbagai tempat strategis, festival budaya, motif-motif, hiasan dan ukiran khas Dayak yang digunakan sebagai ornamen pada bangunan, rumah dalam perkotaan, dan perkantoran pemerintah. Ditambah lagi eksodus ribuan pelajar dan mahasiswa untuk belajar ke berbagai perguruan tinggi di Jawa.

Beberapa poin itu barangkali cukup untuk memperlihatkan kecenderungan bahwa orang Dayak sedang berada pada jalur yang benar dalam usaha menyetarakan diri sebagai bagian dari bangsa “pembangunan” ini.

Pemerintah daerah dengan sadar menggalakkan sektor pariwisata sebagai pesona dan ladang penghasil devisa. Seperti terlihat diberbagai Kabupaten di Kalimantan, pemerintah kabupaten atau kota masing-masing membangun rumah adat berdirikhas Dayak (Betang atau Lamin atau Rumah Panjang). Ritual, upacara, kesenian dan simbol-simbol budaya Dayak direkonstruksi kembali dan dijadikan aset kebudayaan lokal yang tidak ternilai harganya. Dayak dan simbolnya seolah ada dimana-mana dan menjadi bagian identitas budaya Dayak masa kini. Ini jelas bertolak belakang dengan kenyataan masa silam dan harus diakui memang terjadi perkembangan yang positif bagi eksistensi keberadaan orang Dayak dan budayanya jika dibandingkan beberapa tahun silam, terutama saat Orde Baru berkuasa.


Tains Odop, Penulis Muda Dayak asal Kalbar, sementara berdomisili di Jogja.


IDENTITAS YANG TERPINGGIRKAN


“Mau makan direstoran,..Padang, bukan berarti harus ke Padang, semua ada disini kita tinggal menikmati. Mau makan buah pisang..Ambon, bukan berarti harus ke Ambon. Mau makan sayur Gudeg..Jogja, bukan berarti harus ke Jogja.” (cuplikan syair lagu Enno Lerian).
“Ada orang Batak, ada orang Jawa, ada orang Sunda, ada orang Ambon, ada orang Madura...Nggak disebut jangan marah.” (cuplikan syair lagu ProjetPop).

Jika kita hidup diabtara tahun 1990an-2000an, kita semua pasti pernah mendengar syair kedua lagu tersebut, apalagi dimasa sekarang dimana televisi, radio, VCD dan komputer sudah masuk kedalam keseharian kita, lagu-lagu tersebut terasa tidak asing dan amat mudah diingat. Penggalan syairnya sederhana, biasa dan mungkin hanya kebetulan saja. Tapi ada pesan yang bisa kita tangkap dari petikan syair itu bahwa dalam wawasan masyarakat umum, orang Kalimantan (terutama Dayak) tidak populer dalam ciri dan identifikasi yang layak diungkapkan, kecuali keprimitifannya, kanibalisme, penguasa hutan, pengayau dan udik. Demikian ungkap Iwan Djola di blognya www.iwandjola.blogspot.com

Entahlah apakah itu sebagai sebuah kebetulan atau tidak, lagi-lagi pikiran kita menerawang kedalam, bertanya dan merenung “ada apa denganmu, orang Dayak?”. Bahwa orang Dayak yang menguasai sebagian besar pulau Kalimantan (bahkan 40% populasi suku-suku di Kalbar) dianggap tidaklah penting -jika tidak mau dibilang tidak ada- menjadi sebuah persoalan identitas yang mesti kita perjuangkan keberadaannya.

Dalam khasanah perjuangan bangsa dan tatanan sejarah Nusantara, nama suku Dayak memang menjadi bagian penting NKRI dimana pada masa lalu juga merupakan pejuang tangguh dalam merebut kemerdekaan dari pihak penjajah. Orang Dayak tergabung dalam gerakan perlawanan, turut serta dalam ikrar kesatuan Nusantara (Jong Kalimantan) sehingga diperolehlah Nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Bahkan salah seorang tokoh Dayak sekaligus bapak pembangunan di Kalteng yang bernama Tjilik Riwut merupakan pahlawan nasional yang namanya tercatat sebagai pejuang kemerdekaan bagi NKRI.

Lagi… jika pernah melihat iklan Indomie yang dinyanyikan oleh salah seorang pemenang audisi televisi Indonesian Idol (Mike), suku Dayak tidak muncul disana. Entah apakah karena penjualan produk Indofood (mie instan) di Kalimantan tidak laku keras sehinggga foto maupun video orang berbusana Dayak tidak muncul disiklan tersebut ataukah memang orang Dayak tidak cukup menjual dari sisi marketing.

Yang pasti, jika kita melihat lebih dalam dari syair lagu dan iklan diatas tadi kita bertanya apa sebenarnya yang membuat orang Dayak tidak terekspos, tidak muncul kepermukaan dan hanya bermain didalam lingkarannya sendiri? Bagi saya ini merupakan representasi dari Identitas yang Terpinggirkan, sebuah identitas yang "malu-malu tapi mau".

Diakui atau tidak, identitas kita dikancah nasional masih terpinggirkan, masuk dalam golongan kelas dua (jika tidak mau dipandang sebagai kelas tiga) dalam tatanan kehidupan sosial, politik dan ekonomi bangsa. Pandangan negatif masa lalu masih membekas dan menjadi bagian dari identitas jati diri keberadaan orang Dayak sehingga bagi orang lain suku Dayak tidaklah penting. Berbagai kalangan memang melakukan perjuangan agar identitas dan jati diri orang Dayak dikenal, agar kebudayaannya tetap lestari, namun ternyata apa yang telah diperjuangkan selama ini tidaklah cukup. Kita mesti bekerja lebih keras lagi, berbuat lebih banyak lagi dan menjadikan orang Dayak sebagai motor perubahan agar identitas asli orang Dayak tidak terus-terusan terpinggirkan.

Pada buku pertama saya yang dirilis tahun 2006 lalu, saya menekankan perlunya orang Dayak melakukan perubahan, Change or Die – Berubah atau Mati, demi membuat identitas ini muncul dan dikenal oleh kalangan yang lebih luas, bukan hanya dikalangan internal orang kita melainkan dikalangan yang lebih besar yakni bangsa ini. Representasi agar ekspos mengenai Dayak muncul penting kita galakkan, identitas sebagai masyarakat yang berbudaya, jujur dan pejuang tangguh harus menjadi bagian tidak terpisahkan pada jati diri orang Dayak. Dengan demikian kita bisa mengeliminir sedikit demi sedikit pandangan negatif yang menyebutkan bahwa orang Dayak itu primitif, Kanibal, Udik dan Pengayau. Yang diganti dengan orang Dayak adalah orang yang berbudaya, jujur dan tulus, baik dan bersahabat, cerdas, rajin dan pejuang tangguh.


Tains Odop, Penulis Muda Dayak asal Kalbar, sementara berdomisili di Jogja.